Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) meneruskan suatu tradisi yang sudah berlangsung sejak era kolonialisme yaitu akomodasi Hukum yang Hidup atau Hukum Adat ke dalam sistem hukum formal. Dalam bidang hukum pidana, sekalipun sejak tahun 1918 telah dilakukan unifikasi hukum, tidak lantas sama sekali menghapuskan tradisi akomodasi. Dalam era Indonesia merdeka, tradisi akomodasi oleh hukum pidana formal muncul dalam Undang-Undang Darurat No. 1/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Persoalan mendasar dalam konstruksi Hukum yang Hidup di RUU KUHP terutamanya disebabkan oleh tidak akuratnya RUU ini dalam memahami Hukum yang Hidup dalam masyarakat, karakter serta metode-metode pengakomodasiannya. Dengan kata lain, jika RUU KUHP ingin menunjukkan penghormatan terhadap hukum adat dan sekaligus memastikan penghormatan tersebut sejalan dengan koridor kebangsaan dan kemanusiaan, maka penting bagi RUU ini untuk memaknai Hukum yang Hidup dari perspektif ‘pluralisme hukum’