Mencari Ruang Untuk Hak Adat Orang Pakava

Oleh : Hedar Laudjeng & Ramlah

  1. PENGANTAR

Studi ini bermaksud untuk mengungkapkan konsep dan praktis penguasaan daan pengelolaan sumber daya alam oleh sebuah masyarakat adat yang sedang berjuang mempertahankan haknya. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mengungkap perspektif hukum yang mungkin dapat dipakai untuk menegakkan eksistensi mereka sebagai sebuah masyarakat adat.

Perkenalan antara orang Pakava dengan staf YBH Bantaya, telah berlangsung sejak tahun 1995. Yaitu sejak, ketika beberapa tokoh dari orang Pakava di Ngovi dan Moi (Bamba Apu) meminta bantuan untuk menangani masalah yang mereka hadapi. Antara lain, konflik mereka melawan sebuah perkebunan kelapa sawit yang terus menerus hendak mencaplok tanah d wilayah adat orang Pakava.

Pendamingan yang dilakukan dalam menghadapi kasus tersebut dan beberapa lainnya yang mereka hadapi, membawa staf YBH-Bantaya untuk berusaha mengenal  orang Pakava secaraa lebih mendalam. Mereka mencatat cukup banyak hal yang meskipun tidak sistematis, tetapi kemudian ternyata banyak gunanya adalah pelaksanaan studi ini. Karena itu, studi ini bukan hal yang berdiri sendiri.

Dalam rangka pelaksanaan studi ini, sejumlah wawancara dilakukan dengan tokoh masyarakat Ngovi, Bamba Apu, Duria Sulapa, Tosonde, Pangalambori, Pombui, Kanini, Bavoaya, dan Kapaku. Selain itu, diskusi-diskusi kecil dengan beberapa warga masyarakat, juga dilakukan di tempat-tempat tersebut.

Diskusi dalam jumlah besar yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dari tempat-tempat tersebut, dilakukan di Ngoviyang dikaitkan dengan upacara adat Mompegasa Tana. Yaitu, suatu cara untuk membersihkan bumi dari segala perbuatan buruk manusia terhadapnya (semacam ruwatan bumi) .

Khusus di Boya Bamba Apu, stah YBH-Bantaya tinggal dan bekerja diladang bersama masyarakat selama satu bulan. Selain mempertajam pengamatan lapangan, kegiatan ini sangat berguna untuk mendapatkan informasi dari kalangan perempuan yng biasanya sulit diajak bicara dalam diskusi-diskusi umum.

II.   MENGENAL ORANG PAKAVA

  1. ASAL USUL DAN WILAYAH

Penduduk asli Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari 12 suku, yaitu: Kaili, Pamona, Saluan, Banggai, Pipikoro, Lore, Mori, Bungku, Tomini, Toli-toli, Buol, dan Balantak. Dalam hal ini suku Kaili merupakan populasi terbesar yang mendiami Kabupaten Donggala.

Orang Pakava atau To Pakava  – demikian mereka menyebut dirinya – adalah Sub Suku kaili yang menggunakan bahasa Kaili berdialek inde. Orang pakava biasaa jugaa menyebut dirinya To Pinembani atau orang pinembani. Adapun Pinembani adalah nama sebuah gunung yang terletak di dekat Desa Palintuma Kecamatan Marawola.

Orang Pakava pada umumnya tinggal di bagian Selatan Kecamatan Marawola Provinsi Sulawesi Tengah dan sebagian lagi tinggal di bagian Timur laut Kecamatan paangkayu Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Selatan.  Meskipun demikian, wilayah adat yang mereka kuasai merupakan satu kesatuan teritori, karena tidak diantarai oleh wilayah adat atau pemukiman pihak lain.Hal ini sudah berlangsung, jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia.

Sekarang ini, wilayah yang dikuasai oleh orang Pakava meliputi Desa Palintuma, Tomodo, Dangaraa, Gimpubia, dan Kanini di Kecamatan Marawola. Sedangkan di Kecamataan Pasangkayu mereka tinggal di Boya Bamba Apu (Moi), Boya Duria Sulapa, Boya Kalibamba dan Tosonde (Proyek pemukiman yang dibangun oleh pemerintah).

Menurut tradisi lisan orang Pakava, leluhur mereka berasal dari Gunung Pinembani yang kemudian secara turun temurun menyebar ke arah barat disepanjang sungai Pakava, lalu membelok jauh ke selatan sampai ke Budong-Budong di Sulawesi selatan.

Dapat dikatakan, bahwa tradisi lisan tersebut tidak mengada-ada, karena sangat banyak tempat yang terletak di bagian utara Kabupaten  Mamuju sekarang ini, penamaannya dalam bahasa Kaili dialek Inde. Padaha oraang Pakava sudah sejak lama tidak menguasai tempat-tempat itu.

Wilayah yang dikuasai oleh orang Pakava tersebut di atas terletak di sebelah kanan (Utara dan Timur) sungai Pakava. Hal ini berkaitan erat dengan suatu Tantovi (perjanjian atau sumapah) di masa lalu antara orang Pakava dengan orang Io (Rio), yang mengakhiri permusuhan panjang di antara kedua sub-suku kaili tersebut. Lembah Rio (Io) yang terletak di sebelah kiri sungai Pakava, adalah bagian dari wilayah (bekas) kerajaan Sigi. Orang Io memakai bahasa Kaili berdialek tado. 

Pada bagian sebelah utara wilayah adat orang pakava, dibatasi oleh wilayah (bekas) kerajaan Dombu yang penduduknya adalah sub-suku Kaili yang berdialek Da’a. Mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan orang Pakava.

  • WAWASAN TENTANG ALAM DAN MANUSIA

Dalam tradisi lisan Orang pakava disebutkan, bahwa manusia dan alam Pakava berasal dari Tana pinandu. Bagaimana tafsir filosofis dan antropologis tentang Tana Pinandu, masih membutuhkan eksplorasi yang lebih jauh. Akan tetapi ada dua hal berikut menunjukan betapa erat hubungan batin antara Orang Pakava dengan alamnya.

  1. Dalam mantra “ilmu kebal” Orang Pakava antara lain disebutkan:

“..Ase molanto ri Tana Pinandu…”.

Artinya, besi (logam) terapung (tidak masuk) di Tana Pinandu.

Mantra itu diucapkan lalu merapatkan kedua telapak tangan di depan mulut dan menghembuskan napas kuat-kuat ke dalam kedua telapak tangan itu. Setelah itu, kedua telapak tangan itu diusapkan pada sekujur tubuhnya. Hal ini menunjukkan, bahwa Orang Pakava mengidentifikasikan dirinya sebagai personifikasi dari Tana Pinandu.

  • Dalam salah satu syair Roya – yaitu suatu jenis seni ritual Orang pakava diungkapkan kisah yang pada pokoknya sebagai berikut:

Di Gunung Pinembani hidup sepasang suami-isteri yang mempunyai 7 orang anak. Salah satu anak itu (yang bungsu) bernama Danu. Pada waktu itu tanaman padi belum dikenal. Suatu ketika si Ayah melihat seekor burung pipit sedang memakan sesuatu yang kemudian ternyata adalah padi. Karena seringnya melihat burung pipit  membawa makanan itu, maka ia berpikir, bahwa tentunya makanan itu sangat lezat. Oleh karena itu, ia berusaha menjebak burung pipit itu agar dapat memperoleh makanan lezat itu.

Jebakannya berhasil. Si Ayah memngambil padi yang dibawa oleh burung pipit itu lalu menanamnya. Sejak itulah keluarga itu mulai mengenal tanaman padi sebagai makanan. Sesuai dengan “sejarah” penemuannya, padi itu mereka sebut Pae Rone (Padi Pipit).

Pada suatu musim berladang, si Ayah dan si Ibu baru selesai membersihkan lading dan siap untuk ditanami padi. Kedua orangtua itu pergi kerumahnya untuk mengambil bibit padi yang sudah disiapkan sebelumnya.

Akan tetapi betapa kecewanya kedua orangtua itu, karena ternyata bibit padi itu sudah habis ditumbuk, dimasak dan dimakan oleh anak-anaknya. Padahal tidak ada lagi bibit padi lain yang tersisa. Kedua orangtua itu sangat marah dan memukuli anak-anaknya.

Ketujuh anak-anak itu sangat menyesali kekeliruannya. Mereka menangis dan berguling-guling di ladang yang baru dibuka.

Akhirnya si bungsu (Danu) menjelma menjadi padi. Padi yang merupakan penjelmaan si bungsu itulah yang sekarang diwarisi oleh orang Pakava. Karena itu mereka sebut Pae Danu (Padi Danu).

Suatu ketika si bungsu (Danu) yang telah menjelma menjadi padi dating ke dalam mimpi si ibu dalam wujud aslinya sebagai manusia. Danu mengatakaan kepda ibunya agar ia jangan ditanam terus-menerus (berturut-turut) di tanah yang sama. Setiap penanaman baru harus dilakukan di tanah yang berbeda dari sebelumnya.

Ketika si Ibu bertanya tentang alasan permintaan itu, Danu menjawab, bahwa bila ia ditanam berturut-turut pada tanah yang sama, maka Tana Pinandu akan menderita dan bila itu terjadi maka Danu akan durhaka.

Deskripsi di atas selain menunjukan hubungan batin yang erat antara Orang Pakava dengan sumber daya alamnya, juga menunjukan, bahwa orang Pakava memandang sumber daya alam sebagai subyek dan bukan sekedar obyek eksploitasi. Hal ini sangat berbeda dengan alam pikiran modern yang kemudian banyak diterjemahkan dalam bentuk hukum (perundang-undangan) diberbagai Negara.

Selain itu, deskripsi di atas, juga mengungkapkan latar belakang religious system perladangan berotasi (daur-ulang) yang masih banyak dianut Orang Pakava sampai saat ini. Kurang lebih dirumuskan sebagai berikut:

Tidak menanam padi ladang (Pae Danu) sama saja dengan memutus hubungan spiritual dengan leluhur. Menanam padi ladang secara terus menerus pada lahan yang sama dengan tidak memberi kesempatan istirahat kepada lahan itu, sama saja dengan membuat leluhur durhaka dan tana Pinandu menderita. Padahal Tana Pinandu adalah diri mereka sendiri juga.    

Pada sisi lain, Orang Pakava memandang hak mereka atas sumber daya alamnya bersifat relatif. Artinya, masih ada phak lain yang juga berhak sama atau bahkaan lebih daripada mereka, yaitu Viata.

Viata adalah roh leluhur dan kerabat yang sudah meninggal dunia. Diyakini oleh Orang Pakava, bahwa Viata tinggal di hutan-hutan di dalam wilayah adat Orang Pakava yang sedang tidak diolah. Oleh sebab itu, sebelum membuka lading baru, terlebih dahulu harus meminta persetujuan dari Viata yang menghuni tempat yang akan dibuat lading itu dan meminta agar viata yang ada tinggal disitu – untuk sementara – pindah ke tempat lain. Bilamana viata menolak, maka mereka harus mencari tempat lain untuk dijadikan ladang.

Upacara adat permintaan izin membuka lading itu disebut Nompepoya.

  • KESATUAN HIDUP

Orang Pakava pada umumnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 20 sampai 50 kepala keluarga. Kesatuan hidup itu disebut Boya. Kesatuan-kesatuan itu antara lain dapat ditemukan di Bamba Apu (Moi), Kalibamba, Duria Sulapa, Pangalambori, Pombui, Bavoaya, kapaku dan Kanini.

Sebuah Boya mempunyai Totua nu Boya (Totua nu Ada) dan Bangunasa (Totua Panggare). Totua nu Boya, fungsi utamanya adalah memimpin peradilan adat. Adapun Bangunasa, fungsi utamanya adalah memimpin segala hal yang berkaitan dengan perladangan padi. Bangunasa selalu mendampingi Totua nu Boya dalam menyelenggarakan peradilan adat.

Secara tradisional pemecahan dan pembentukan sebuah Boya biasanya disebabkan oleh 2 hal, sebagai berikut:

  1. Jumlah warga Boya sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga lahan untuk perladangan di bukit atau lembah dimana Boya itu berada tidak mencukupi lagi.
  2. Ketidakpuasan terhadap Totua nu Boya atau kegagalan Bangunasa memimpin perladangan.

Kalau salah satu atau kedua hal itu terjadi, maka sebagian warga Boya membuka perladangan di bukit yang terpisah jauh daari Boya semula. Lama kelamaan perladangan tersebut berkembang menjadi Boya yang baru.

Sebuah boya mempunyai tingkat independensi yang tinggi, karena tidak ada satu kelembagaan adat yang mengatasi kelembagaan di dalam Boya. Setidak-tidaknya ada 3 hal yang mempengaruhi berkembangnya kelompok-kelompok yang relatif independen, dalam satuan Boya di kalangan Orang pakava, yaitu:

  1. Sebagian besar wilayah adat Orang Pakava merupakan merupakan daerah pegunungan yang disana-sini diselingi oleh jurang dalam dan terjal. Oleh sebab itu, cukup sulit bagi suatu lembaga adat untuk bekerja efektif mengkoordinasikan kehidupan sehari-hari seluruh orang Pakava. Hal ini teruama berkaitan dengan system perladangan padi yang dianut oleh orang Pakava.
  2. Kehidupan Orang Pakava yang bersahaja, tidak begitu membutuhkan suatu struktur kekuasaan politik yang berjenjang, kakuh dan rumit.
  3. Kebijakan Negara yang menetapkan batas wilayah administratif berupa desa dan propinsi yang tidak mempertibangkan kesatuan masyarakat hukum adat.

Eksistensi Orang Pakava sebagai sebuah masyarakat adat, disamping ditentukan oleh budaya padi yang mereka pelihara, juga ditentukan oleh factor geneologis yang meahirkan kesadaran To Pakava Saongu (orang Pakava satu) yang melekat kuat dalam kesadaran mereka. Kesadaran itu terus menerus dipelihara, paling kurang sekali setahun pada upacara selamatan panen padi. Pada saat itulah wakil-wakil atau pemuka boya-boya Orang Pakava berkumpul. Roya yang syairnya syarat dengan mitologi dan riwayat suka duka perjalanan sejarah To Pakava Saongu, merupakan bagian penting dalam upacara ini.

Sementara itu meskipun boya-boya Orang Pakava terpisah-pisah, tetapi tidak diselingi oleh wilayah adat atau pemukiman pihak lain. Sehingga, praktis Orang Pakava hidup di dalam satu teritori yang telah mereka kuasai secara turun temurun dan dihargai oleh masyarakat sekitarnya.

  • SISTEM PENGELOLAAN & PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM

Sebagian besar wilayah adat yang dikuasai oleh Orang Pakava, merupakan pegunungan dan bukit-bukit yang ditutupi oleh hutan. Bagian yang landai, pada umumnya sudah dikuasai oleh pihak lain, seperti perkebunan kelapa sawit dan transmigran.

Hutan bagi Orang Pakava adalah tempat bermukimnya viata, tempat mengambil bahan bangunan dan tempat mengambil bahan makanan berupa buah, umbi dan hewan. Hutan yang dianggap sebagai tempat tinggal permanen bagi viata, biasa disebut tana Nakapue. Hutan seperti ini, dipertahankan sebagai hutan tetap. Biasanya kondisi alam di tempat seperti itu tidak cocok untuk perladangan. Misalnya, tanahnya berbatu-batu, terlalu miring atau dekat sumber mata air.

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, pengelolaan sumber daya alam oleh Orang Pakava, didominasi tradisi perladangan padi yang berkaitan erat dengan system religinya. Oelh karena itu, hampir seluruh tanah yang pernah diolah di wilayah adat Orang Pakava, merupakan areal yang dipakai untuk menanam padi. 

Perladangan padi Orang Pakava dilkukan secara berkelompok di atas satu hamparan yang disebut langa. Setiap orang atau setiap keluarga mempunyai satu petak ladang padi di dalam langa tersbut. Petak-petak lading itu disebut bonta.

Batas setiap bonta, disebut panjoi yang ditandai dengan sejenis tanaman yang mereka namakan rodo (doda). Oleh sebab itu, batas setiap bonta itu tetap diketahui, meskipun lading itu sudah berubah menjadi hutan lebat.

Tanah dan hutan yang terdapat disekeliling langa disebut pandope yang berfungsi sebagai tempat mengambil bahan bangunan dan makanan. Dalam hal ini, ada kebiasaan Orang Pakava menanam keladi di pandope yang merupakan sumber makanan penting selain padi, ubi, dan jagung. Di samping itu, pandope juga berfungsi sebagai sekat antara langa dengan jurang atau sungai.

Perladangan padi berpindah setiap tahun atau setiap kali panen. Biasanya perladangan baru terletak cukup jauh dari perladangan sebelumnya. Selain alasan religious sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sbelumnya, ada alas an lain yaitu menghindari serangan hama.

Menurut pemikiran Orang Pakava ketika ladang padi dibuka di suatu tempat, maka hama seperti tikus, babi dan lain-lain akan mendekat, menetap dan berkembang biak di dekat ladang. Oleh karena itu bila perladangan berikut tidak dipindahkan, maka hama akan dengan mudah menyerang tanaman padi. Demikian pula kalau lading baru dibuka tidak jauh dari ladang sebelumnya.  

Penentuan calon tempat yang akan di buka menjadi ladang, biasanya akan dilakuakan dengan cara memasukan parang atau seruas bambu ke dalam tanah. Bilang perang dicabut dan tanah melengket pada parang, berarti tanah tersbut cukup gu tidembur untuk dipakai beradang. Begitu pula bla ruas bambudan tanah tertinggal didalam ruas bambu (tidak rontok). Setelah ada kepastian mengenai kesuburan tanah, baru diadakan upacara meminta izin kepada viata, sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya.

Selain menanam bahan pangan seperti padi, keladi, ubi dan jagung. Orang pakava juga menanam buah-buahan seperti durian, ranbuatan dan langsat. Akan tetapi tanaman itu tidak ditanam dalam jumlah besar di satu lokasi. Tanaman-tanaman itu tesebar disana-sini disela-sela pohon-pohon yang lain.

Beberapa tahun terakhir, Orang pakava mulai mengenal tanaman perdagangan seperti kopi dan kakao (coklat). Berbeda dengan tanaman buah-buahan, tanaman perdagangan ditanam dengan jumlah cukup besar, yaitu ratusan sampai ribuan pohon disatu lokasi.

Dalam persepsi Orang pakava, seluruh sumber daya alam terdapat di dalam wilayah adatnya, adalah hak orang pakava secara kolektif. Oleh sebab itu pihak lain tidak berhak menguasai dan mengola sumber daya alam itu tanpa izin mereka.

Hak perorangan atas tanah, pada umumnya diperoleh melalui pembukaan hutan yang tidak dihaki oleh seseorang atau melalui pewarisan.  Dalam hal membuka hutan yang belum dihaki seseorang, maka terlebih dahulu harus meminta persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang terdekat dari hutan itu.

Berkaitan dengan hak atas tanah, penting diketahui kategori hutn menurut orang Pakava, sebagai berikut:

  1. OVA, yaitu bekas ladang yang ditumbuhi semak-semak.
  2. OMA, yaitu ova yang sudah berkembang dan bercampur dengan pohon-pohon besar. Hutan disebut oma, bila hutan itu tidak lagi ditumbuhi pisang hutan (pisang monyet).
  3. KAORE, yaitu oma yang sudah berkembang dan didominasi oleh pohon-pohon besar. Hutan dapat disebut kaore bila hutan itu tidak lagi ditumbuhi pisang hutan (pisang monyet).
  4. PANGALE, yaitu hutan yang lebih lebat dari kaore. Hutan dapat dikatakan pangale, kalau di hutan itu sudah terdapat rotan yang sudah dewasa (dapat dipanen).
  5. VANA, yaitu hutan yang lebih lebat daripada pangale. Di dalam vana, sudah terdapat pohon-pohon damar yang produktif.

Hak perorangan atas tanah berakhir dan kembali menjadi hak kolektif, bilamana:

  1. Tanah tersebut tidak diolah dalam waktu yang cukup lama, sehingga telah berubah menjadi PANGALE atau VANA. Jadi kalau masih berbentuk OVA, OMA dan KAORE masih melekat hak perorangan yang dipunyai oleh yang pertama membuka hutan di atas tanah itu, atau orang lain yang memperoleh hak darinya.
  2. Orang yang berhak atas tanah itu, telah keluar dari Boya yang menguasai tanah itu dan tinggal di Boya lain atau keluar dari wilayah adat orang Pakava. S

Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap tanah yang ditumbuhi tanaman keras, seperti coklat, kopi, durian, dsb. Dalam hal ini, hak perorangan tetap melekat sebatas tanah yang ditumbuhi oleh pohon-pohon itu. 

III.  TEKANAN TERHADAP ORANG PAKAVA

Sejarah penekanan terhadap Orang Pakava sebetulnya telah berlangsung cukup lama. Menurut Hi. Andi Ando Andi Pelang,2) ekspansi Kerajaan Mamuju sekitar abad ke 17 membuat Orang Pakava banyak kehilangan wiayahnya. Disebutkan, bahwa setelah terdesak ke arah utara pada akhirnya orang Pakava bertahan di Samaribu, sebuah tempat dekat desa Randomayang. Sampai sekarang, tempat itu disebut Benteng Samaribu.

Pada awal berdirinya Republik Indonesia setidak-tidaknya ada dua peristiwa penting yang berpengaruh bagi Orang Pakava, yaitu munculnya semacam ajaran mesianis Salamagavu dan pemberontakan DI/TII.

Ajaran salamagavu yang dikembangkan oleh seorang tokoh di Boya Bavoaya sekitar tahun 1958. Ajaran itu berkembang sampai keluar wilayah Orang pakava dan kemudian disalahgunakan  oleh orang tertentu untuk kepentingan ekonomi yang merugikan banyak orang. Hampir bersamaan dengan itu, wilayah Orang Pakava dijadikan salah satu basis logistic oleh pasukan DI/TII. Akibatnya Orang Pakava mengalami represi militer dari pemerintah Indonesia.

Kedua peristiwa itu meninggalkan trauma panjang bagi orang Pakava. Mereka menjadi begitu takut tehadap simbol-simbol militer. Ketakutan ini kemudian sering digunakan orang lain untuk menyingkirkan orang Pakava dari tanahnya.

Mulai sekitar tahun 1978, sejumlah transmigran asal Pulau Bali dating ke wilayah adat Orang pakava secara bergelombang. Kedatangan transmigran ini membuat orang Pakava tergusur dari boya-boya mereka di Pasinjuru, Padongga, bamba Raba, Dasengguni, dan Bamba Luu yang sekarang sudah berubah nama menjadi nama-nama khas kampong Bali. (misalnya: Martajaya). Dalam kasus ini mereka diancam akan ditembak oleh polisi kalau tidak mau menyerahkan tanahnya.

Orang-orang Pakava yang tergusur oleh proyek transmigran akhirnya mengndurkan diri ke Bamba Raiya, Sampoa, Morokapi, Bamba Mone, dan Petunggu. Akan tetapi, ketenangan mereka tidak berlangsung lama. Sejak tahun 1991, mereka kembali mengalami penggusuran yang kali ini dilakukan oleh sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Pasangkayu yang bernaung di bawah Astra Group.

Untuk mengintimidasi orang Pakava, pihak perkebunan mengatakan kepada penduduk, bahwa perkebunan kelapa sawit tersebut adalah kepunyaan Ibu Tien Soeharto. Karena itu, bagi siapa saja yang berani melawan, akan berhadapan dengan tentara. Hal ini membuat nyali Orang pakava menjadi ciut dan mereka semakin tergusur ke pedalaman.

Aroma militer memang begitu terasa kental di perkebunan ini. Pada pintu gerbang masuk areal perkebunan, berdiri sebuah pos penjagaan yang dicat loreng seperti seragam tentara. Karena itu popular disebut pos loreng. Kepala satpam memakai seragam Kopassus berupa baret merah, baju dan celana loreng, sepatu lars dan pisau komando.

Selain merampas tanah, memusnahkan pemukiman, rumah ibadah, dan tanaman, perkebunan ini menimbulkan kerusakan ekosistem yang cukup berarti bagi orang Pakava.

Menurut masyarakat di Boya Bamba Apu dan Ngovi, sebagian dari tanah yang sekarang dikuasai oleh perkebunan kelapa sawit, dahulu adalah rawa-rawa tempat tumbuhnya pohon sagu yang merupakan makanan cadangan Orang Pakava di waktu kesulitan makanan. Demikian pentingnya arti hutan sagu tersebut, sehingga mereka biasa menyebutnya tinja nosa (tiang napas). Hutan sagu itu, juga menjadi tempat hidupnya babi hutan.

Perubahan fungsi lahan yang dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit menyebabkan habitat hewan tersebut rusak. Akibatnya, hewan-hewan itu semakin sering menyerang tanaman penduduk.

Jauh sebelumnya, sebuah perusahaan pemegang konsesi HPH (PT. Tara Kawan) beroperasi di Bamba Apu, Ngovi, Pangalambori, Kanini, dan Pombui. Kegiatan eksploitasi hutan oleh perusahaan tersebut, oleh penduduk setempat dianggap merusak lingkungan hidup, karena:

  1. Tanah perladangan menjadi rusak (padat) karena sering dilindas oleh peralatan berat yang dipakai mengangkut kayu oleh perusahaan tersebut.
  2. Hama babi mangganas, karena pohon-pohon yang menghasilkan makanan babi, banyak yang ditebang oleh perusahaan HPH.
  3. Gelondongan kayu yang dibuang atau diletakkan secara serampangan oleh perusahaan HPH, mengakibatkan air sungai meluap kalau banjir. Bahkan aliran atau badan sungai sering berpindah-pindah karena tersumbat gelondongan kayu.

Tekanan terhadap Orang pakava yng dilakukan melalui kegiatan perkebunan kelapa sawit, HPH dan transmigrasi sebagaimana digambarkan di atas menunjukan betapa hak adat Orang Pakava telah diabaikan oleh pemerintah. Hal ini berkaitan erat dengan garis politik agraria pemerintah Orde Baru yang mengabaikan hak-hak adat atas sumber daya alam.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika kemudian pemerintah – secara sepihak – menetapkan hampir seluruh wilayah adat Orang Pakava masuk kawasan Hutan Negara. Penetapan tersebut hanyalah semacam penegasan klaim tanah Negara oleh pemerintah atas hampir seluruh tanah yang ada di wilayah adat Orang Pakava. Hal mana mengingatkan kita kepada politik agraria yang diterapkan oleh pemerintaah Hndia Belanda melalui Domein Verklaring 1870.

Bagi orang Pakava klaim tanah Negara yang dilakukan oleh pemerintah orde baru, adalah masalah agraria yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Karena, kekuasaan pemerintah dan penetrasi capital di zaman Hindia Belanda, tidak sampai merampas hak-hak mereka atas sumber daya alam. Ini adalah sebuah ironi sejarah.

IV. SEKILAS SEJARAH POLITIK AGRARIA DI INDONESIA

  1. MASA PENJAJAHAN BELANDA

Tinjauan tentang politik agrarian di zaman penjajahan Belanda, biasanya dibagi dalam dua periode, yaitu periode Cultuurstelsel dan periode Agrarische Wet/Domein Verklaring. Periode Cultuurstelsel biasa juga disebut periode tanam paksa  atau periode perkebunan Negara, dengan VOC sebagai pemegang monopoli. Adapun periode Agrarische Wet/Domein Verklaring 1870 biasa juga disebut dengan perkebunan besar swasta. Periode Cultuurstelsel – dengan beberapa pengecualian – tidak banyak berpengaruh di luar Jawa – Madura, karena kekuasaan Belanda di Indonesia belum begitu luas menjangkau wilayah di luar kedua pulau itu.

Perubahan politik agrarian pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, didorong oleh kemenangan kaum liberal di negeri Belanda. Kaum liberal sangat tergiur dengan keuntungan-keuntungan ekonomi yang diraih oleh VOC yang memonopoli pengelolaan sumber daya alam di Hindia belanda (Indonesia). Oleh sebab itu mereka ingin melakukan investasi , mengikuti jejak VOC.

Masalahnya, tidak ada ketentuan hukum yang cukup untuk menjamin perkembangan usaha mereka. Berdasarkan peraturan yang ada pada waktu itu, mereka tidak bisa mendapat tanah dengan hak eigendom dan hanya dapat menyewa tanah-tanah Negara yang masih kosong berupa belukar (woestegronden) dan waktunya pun terbatas (tidak lebih dari 20 tahun). Lagipula hak sewa itu menurut hukum eropa adalah hak yang persoonlijk (pribadi), yaitu hak yang melekat pada orang, bukan pada benda. Karena itu dikalangan pengusaha-pengusaha dipandang kurang kuat dan tidak dapat dijadikan tanggungan untuk mendapat pinjaman dengan hypotheek.3)

Pada sisi lain, Soetandyo Wignjosoebroto 4) menyatakan: berbeda dengan usaha pertanian Negara menurut model kulturstelsel, yang memanfaatkan kekuasaan kenegaraan (berdasarkan hukum administrasi /public) untuk memperoleh tanah dan tenaga dari daerah-daerah pedesaan, usahawan-usahawan partikelir tentulah hanya akan dapat memperoleh tanah dan tenaga produktif dari pasar bebas lewat kontrak-kontrak privat semata; dan kemudahan ini hanyalah akan dapat dijamin manakala tanah-tanah pertanian dan tenaga-tenaga kerja telah dapat dilepaskan dari yurisdiksi hukum adat dan hukum feodal, dan distribusi serta pola penggunaannya telah dapat diatur menurut  hukum Eropa.

Upaya keras yang ditempuh oleh kaum liberal di parlemen Belanda menghasilkan agrarische Wet 1870 dan Koeli Ordonantie 1880. Sejarah sudah banyak mencatat tentang tragedi yang berkaitan dengan Koeli Ordonantie 1880, karenanya tidak dibicarakan lebih lanjut.

Agrarische Wet 1870 dijabarkan dalam Agrarische Besluit yang juga dikenal dengan Domein Verklaring (pernyataan tanah Negara). Pada pokoknya peraturan ini menyatakan, bahwa setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom seseorang, adalah Tanah Negara (domein van den staat). Dengan demikian, maka seluruh tanah yang dikuasai oleh kaum pribumi Indonesia berdasarkan hak adat – secara teoritik – termasuk ke dalam category tanaha Negara (domein van den staat). Karena konsep eigendom yang dikenal dalam system hukum Eropa, sangat berbeda dengan konsep hak yang dikenal dalam hukum adat. Tidak ada konsep hak adat yang sama persis dengan hak eigendom. Peraturan ini hanya berlaku untuk wilayah yang diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda atau yang biasa disebut wilayah Gubernemen. Adapun daerah-daerah yang tidak dikuasai lagsung oleh pemerintah Hindia belanda tetap berlaku hukum adat di wilayah masing-masing. Dualisme hukum agraria ini terus berlanjut sampai hadirnya UUPA 1960.

Politik hukum yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut, menyebabkan perkembangan pesat usaha perkebunan berskala besar. Hingga tahun 1938 di Hindia Belanda terdapat sekitar 2.500.000 hektar tanah yang dikuasai oleh 2.400 buah perusahaan perkebunan yang sebagian besar dikuasai oleh beberapa perusahaan raksasa dan kartel besar yang mengkoordinasi perusahaan itu.5) Sebaliknya bagi penduduk pribumi, politik hukum yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut secara sistematis melemahkan kedudukan sosial ekonomi penduduk daerah pedesaan. Yaitu dari petani pemilik tanah menjadi buruh serta merebaknya usaha tani yang berskala gurem. 6)

  • MASA REPUBLIK INDONESIA

Pada tahun 1960, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar-dasar pokok Agraria atau yang lebih popular dengan UUPA 1960. Undang-undang ini sekaligus mencabut Agrarische Wet 1870 beserta segala peraturan peaksanaannya.

Dalam penjelasan resmi UUPA 1960 disebutkan, bahwa UUPA 1960 mempunyai 3 tujuan utama, yaitu:

  1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
  2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk membrikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Dalam siding DPR-GR yang membahas RUUPA 1960 pada tanggal 14 September 1960, Menteri Agraria Mr. Sadjarwo selaku wakil pemerintah, antara lain mengatakan :

“Rancangan Undang-undang ini selain akan menumbangkan pucak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian atau sengketa-sengketa tanah antara rakyat  dan kaum penguasa asing, dengan aparat aparatnya yang mengadu dombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa-peristiwa berdarah dan berkali-kali pentroktoran-pentroktoran yang sangat menyedihkan. 7)

UUPA 1960 memandang, bahwa sumber dari segala masalah agrarian pada waktu itu adalah hukum agrarian yang:

  1. Tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan;
  2. Dipengaruhi dan atau berdasarkan hukum barat/hukum penjajah.

Hal itu dapat disimpulkan dari huruf b, c dan d di bagian MENIMBANGN dalam konsideran UUPA 1960, sebagai berikut:

  • Bahwa hukum agrarian yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini dan pembangunan semesta.
  • Bahwa hukum agrarian tersebut mempunyai sifat dualism, dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agrarian yang didasarkan atas hukum barat.
  • Bahwa bagi rakyat asli hukum agrarian penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.

Oleh sebab itu, UUPA 1960 bermaksud menghapuskan pengaruh hukum barat dalam hukum agrarian di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

  1. Secara tegas menegasikan asas domein yang dianut dalam Agrarische Wet 1870. Dalam penjelasan umum UUPA 1960 disebutkan, asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, UUPA 1960 berpendirian, bahwa Negara ataupun bangsa Indonesia tidak pada tempatnya bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat bertindak selaku badan penguasa. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak, dibatasi dengan isi dari hak itu. Dalam hal ini, kekuasaan Negara juga dibatasi oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum.
  2. Secara tegas menghapuskan dualism hukum agraria di Indonesia. Dalam penjelasan umum UUPA 1960, antara lain disebutkan bahwa selama ini ada dua hukum yang berlaku di Indonesia sebagai warisan sistem hukum colonial, yaitu hukum adat dan hukum barat (Eropa).
  3. Menyatakan hukum agraria di Indonesia berdasarkan hukum adat. Hal ini antara lain diatur dalam pasal 3 dan pasal 5 UUPA 1960.

Meskipun UUPA 1960 secara tegas menempatkan diri sebagai antitesa terhadap politik agraria yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi di dalam dirinya sendiri terdapat banyak hal yang kurang jelas atau bahkan saling bertentangan.

Hukum adat yang tadinya hendak ditempatkan sebagai “tuan dirumahnya sendiri” justru mengalami begitu banyak penafsiran yang saling bertentangan. Para pakar hukum seolah berlomba melakukan interpretasi. Sekedar contoh: Saleh Adiwinata 8) mengartikan sebagai hukum adat baru, Prof. Boedi Harsono 9) mengartikan hukum adat yang sudah disaneer, Prof. Sudargo Gautama 10) mengartikan Hukum Adat yang sudah disempurnakan, Prof. Soehardi 11) mengartikan hukum adat yang sudah dihilangkan sifat daerahnya dan diberi sifat nasional. Prof. Sunaryati Hartono 12) mengartikan hukum adat yang sudah dimordenisir. Prof. Moh. Koesnoe, 13) bahkan menafsirkan hukum adat sebagai sinonim dari hukum nasional dan hukum pancasila.

 Aneka tafsir hukum adat yang dikemukakan oleh para pakar tersebut, melemahkan hukum adat dalam berhadapan dengan hukum Negara. Pada sisi lain penafsiran-penafsiran tersebut jelas-jelas akan menjadikan hukum adat sebgai sesuatu yang sulit dipahami oleh rakyat. Artinya, hukum adat menjadi sedemikian rupa, sehingga menjadi hukum yang hanya dipahami oleh para sarjana hukum. Penafsiran-penafsiran tersebut, menjadi begitu dominan selama masa kekuasaan orde baru.

Sementara itu Prof. parlindungan 14) menyatakan, bahwa hukum agraria yang berlandaskan hukum adat sama saja dengan proses kelanggengan hidupnya hukum adat. Pendapat ini, merupakan minoritas yang tidak berpengaruh pada kebijakan agraria pemerintah.

Sementara para pakar sibuk berpolemik tentang pengertian hukum adat yang dimaksud di dalam UUPA 1960 dan perundang-undangan lainnya, istilah tanah Negara semakin santer dipergunakan, bahkan dalam makna yang identik dengan makna yang dikandung dalam Domein Verklaring 1870. Salah satu contoh adalah kebijakan Gubernur Sulawesi tengah pada tahun 1992 15)

Dengan memanipulasikan maksud Diktum Keempat UUPA 1960, Gubernur Sulawesi Tengah bersama Kakanwil BPN setempat melakukan semacam “Domein Verklaring” atas tanah di Sulawesi tengah. Akibatnya, seluruh tanah di wilayah Sulawesi Tengah yang belum memilki sertifikat hak milik yang dikeluarkan oleh BPN, dianggap sebagai tanah Negara. Sedikit atau banyak, kontradiksi penafsiran hukum adat, telah menggagalkan UUPA 1960 mencapai tujuannya. Selain fakta yang sudah disebutkan di atas, kegagalan UUPA 1960 mencapai tujuannya dapat dirujuk pada fakta berikut ini.

  1. UUPA 1960 bertujuan untuk meletakkan dasar bagi penyusunan hukum nasional.
  2. Sebagai alat untuk mencapai kemakmuraan rakyat, terutama rakyat tani. Kenyataannya pada masa orde baru kaum tani justru menjadi pihak yang paling sering dirugikan kepentingannya. Sepanjang sejarah orde baru, perampasan tanah petani dan masyarakat  adat oleh Negara dan swasta menjadi berita yang tiada habisnya di media masa. Dalam hal ini, negaraa dan swasta di satu pihak, berhadapan dengan rakyat dipihak lain. Suatu ciri konflik yang khas dimasa Hindia Belanda.
  3. UUPA 1960, bermaksud meletakkan dasar untuk mengadakan kesederhanaan, kepastian dan kesatuan hukum. Kenyataannya, kesederhanaan dan kepastian hukum semakin menjauh dari rakyat. Indicator yang paling jelas mengenai hal ini adalah maraknya kasus sengketa tanah yang diajukan ke pengadilan. Menurut seorang hakim Agung H. Samsoedin Aboebakar, S.H, 16) seluruh peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, setiap hari dihadapkan pada penyelesaian sengketa tanah. Diperkirakan hampir 50% dari perkara yang diajukan ke pengadilan adalah perkara tanah. Rupanya hukum tanah itu begitu rumit dan kabur bagi rakyat, sehingga untuk mendapatkan kepastian hukum, mereka berduyun-duyun ke pengadilan.
  4. Sebagai antitesa dari Agrarische Wet 1870, seharusnya monopoli penguasaan Sumber Daya Alam. Akan tetapi keyataannya, setelah lebih dari tigaa dasawarsa berlakunya UUPA 1960, monopoli penguasaan atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan  swasta semakin menjadi-jadi. Bahkan lebih buruk daripada monopoli swasta di zaman Hindia Belanda.

Pada tahun 1938 atau setelah 68 tahun Domein Verklaring berlaku, terdapat sekitar dua setengah juta hektar tanah pertanian di Indonesia yang dikuasai oleh sekitar dua ribu empat ratus buah perusahaan perkebunaan swasta. Sementara itu, pada tahun 1994 atau setelah 34 tahun berlakunya UUPA 1960, terdapat lebih dari empat juta hektar tanah pertanian di Indonesia yang dikuasai oleh seribu empat ratus sembilaan buah perkebunan swasta 17)  situasinya akan tampak lebih buruk bila ditambah dengan puluhan juta hektar hutan yang dikuasai oleh segelintir konglomerat di zaman Orde Baru. Kenyataan itu mengharuskan kita untuk berpikir kembali dan melakukan interpretasi yang sesuai dengan semangat yang dikandung dalam UUPA 1960, UUD 1945 dan realitas hukum adat yang majemuk, agar supaya masyarakat – secara mandiri – dapat menyelamatkan haknya atas sumber daya alam.

V.  HUKUM ADAT SEBAGAI HUKUM RAKYAT: MENCARI RUANG DI DALAM HUKUM NEGARA

Secara historis, hukum adat berada pada posisi yang saling berhadap-hadapan dan saling bertentangan dengan kepentingan pemerintahan penjajahan Hindia belanda. Oleh sebab itu, penegakan hukum adat adalah bagian integral dari pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dalam teks Soempah Pemoeda 1928, antara lain dinyatakan:”…….Mengeloerkan kejakinan Persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja: Kemaoean, Sedjarah, bahasa, Hoekoem Adat, Pendidikan dan Kepanduan….dst.”. 18)

Berhubungan dengan itu, maka penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan wilayah hukum adat mendapatkan tempat di dalam pasal 18 UUD 1945 yang dalam penjelasannya disebutkan:

              “Dalam territoir Negara Indonesia terdapa lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan volksgemenscheppen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

Dalam kamus hukum karangan Prof. Subekti, S.H, disebutkan, bahwa hukum adat adalah terjemahan dari istilah Adatrecht, yaitu suatu istilah yang diciptakan oleh Prof. c.Snouck Hurgronie tahun 1893, guna mengistilahkan suatu hukum yang terdiri atas:

  1. Hukum yang dulu pernah disebut juga hukum rakyat atau volksrecht, yaitu hukum seperti yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani rakyat dan mencermin pada tindak tanduk rakyat yang seirama dengan adat istiadatnya.
  2. Hukum yang norma-normanya berasal dari hukum islam dan hukum kanonik, sebegitu jauh telah gerecipieerd, ialah telah menjelma menjadi adat istiadat rakyat; dan
  3. Hukum yang norma-normanya dapat dikenal dari berbagai pranata desa di Pulau Bali dan pranata-pranata dari keratin Jogyakarta dan Surakarta 19)

Mengacu pada definisi di atas, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hukum adat oleh UUPA 1960?

  1. Dalam bagian III angka (1) penjelasan umum UUPA 1960, antara lain disebutkan: “Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli…dst”.
  2. Dalam bagian II angka (2) penjelasan umum UUPA 1960, antara lain disebutkan: kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyrakat hukum, sepanjang kenyataannya hak ulayat itu masih ada…dst”. Penting dikemukakan disini, menurut penelitian yang dilakukan oleh tim Universitas Pajajaran pada tahun 1975, bahwa di luar Pulau Jawa hak ulayat masih cukup kuat. 20)
  3. Dalam bagian II angka (3) penjelasan umum UUPA 1960, antara lain disebutkan: ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agrarian yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agrarian hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan..dst”.

Dalam wacana hukum adat, hak ulayat menunjukan suatu hak yang dipunyai oleh suatu persekutuan masyarakat hukum adat (volksgemenschap). Artinya, hukum rakyat (volksrecht) tercakup dalam pengertian hukum adat yang dimaksud oleh UUPA 1960.

Sebagaimana diketahui, bahwa kebudayaan masyarakat Indonesia, termasuk hukum adatnya adalah majemuk. Hal ini telah berlangsung sejak dahulu kala. Sebelum penjajahan Belanda, tidak ada suatu fakta sejarah yang secara valid menunjukan mengenai adanya suatu kekuasaan politik yang mengatasi atau menghapuskan keberagaman hukum tersebut. Itupun, masih menyisakan ruang yang cukup untuk berlakunya pluralism hukum adat, yaitu di daerah-daerah yang tidak dikuasai langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Oleh sebab itu tidak ada alasan historis untuk mengingkari keberagaman (pluralism) hukum agrarian di Indonesia yang bersumber pada Hukum adat sebagai Hukum Rakyat (Volksrecht).

Kalau demikian halnya, bagaimana dengan unifikasi hukum yang dimaksudkan oleh UUPA 1960?

Sepanjang teks UUPA 1960, tidak ada suatu kalimat yang secara tegas mempertentangkan unifikasi/ kesatuan hukum agrarian dengan keberagaman hukum adat di Indonesia. Sebaliknya, unifikasi/kesatuan hukum agrarian dengan dualism hukum, yaitu hukum eropa dan hukum adat. Oleh karena itu, unifikasi hukum agrarian yang dimaksud  UUPA 1960, seharusnya diartikan sebagai penghapusan dualism hukum agrarian di Indonesia. Bukan penghapusan keberagaman hukum adat di Indonesia.

Bagaimana posisi hukum adat (hukum rakyat) berhadapan dengan hukum Negara?

Dalam batang tubuh maupun penjelasan UUPA 1960, secara jelas menempatkan hukum adat sebagai sub-ordinat dari hukum Negara. Oleh sebab itu, menurut UUPA 1960, hukum adat harus disisihkan bila bertentangan dengan hukum Negara.

Akan tetapi penting pula dikemukakan pandangan dari St. Harun al Rasjid & Herman Sihombing yang dikemukakan dalam pembahasan makalah Poerwoto Gandasubrata dalam seminar hukum adat dan pembinaan Hukum Nasional, yang diselenggarakan oleh BPHN dan Universitas Gajah Mada pada tahun 1975.

Menurut kedua pakar hukum itu, jika ada Undang-undang dan hukum adat yang sama-sama mengatur materi yang sama, akan tetapi ada perbedaan atau pertentangannya, maka hakim tidak harus memutus perkara itu menurut Undang-undang , boleh saja berdasarkan hukum adat. Adapun alasan-alasannya pada pokoknya, sebagai berikut:

  1. Pembuatan Undang-undang yang di lapangan hukum adat yang sekarang berlaku, terlalu bersifat politis dan tidak didukung dengan data yang cukup. Oleh sebab itu, undang-undang seperti itu harus ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan keinsyafan (kesadaran) kita. Menerapkan Undang-undang seperti itu sama halnya dengan melakukan perkosaan.
  2. Baik hukum adat maupun Undang-Undang, sama-sama hukum positif, hanya sumbernya yang berbeda.
  3. Supremasi undang-undang terhadap hukum adat, adalah praktik yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang tidak boleh terjadi di dalam Negara Republik Indonesia. Mendahulukan Undang-undang dari hukum adat dapat dibenarkan, bila undang-undang itu sesuai dengan keinsyafan dan hukum yang hidup dalam masyarakat. 21)

Untuk menempatkan Hukum adat sebagai “tuan dirumahnya sendiri” sesuai dengan peran sejarahnya dan sebagaimana jiwa yang terkandung dalam UUPA 1960 serta untuk menyelesaikan masalah-masalah agraria yang diciptakan orde baru, pendapat kedua pakar hukum tersebut penting untuk dikedepankan.

Perspektif yang kami kemukakan di atas selaras dengan nilai-nilai universal yang dianut oleh bangsa-bangsa beradab dewasa ini. Dalam pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia yang merupakan bagian integral Ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 disebutkan : identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Ketentuan tersebut selaras pasal 14 Konvensi ILO nomor 169 yang menyatakan: “Hak pemilikan dan penguasaan bangsa pribumi dan masyarakat adat terhadap tanah yang secara tradisional mereka huni dan manfaatkan harus diakui…dst”. 22)

Selanjutnya, dalam pasal 56 UUPA 1960 disebutkan: “selama Undang-Undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentu, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang member wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”. Berhubungan karena sampai sekarang ini, undang-undang tentang hak milik belum terbentuk, maka dari segi apapun, tidak ada alasan untuk mengenyampingkan eksistensi hukum adat.

Uraian di atas menunjukkan, bahwa mengingkari hak adat Orang Pakava dan masyarakat adat lainnya adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, perbuatan yang melawan hukum dan sekaligus adalah perbuatan yang mengekspresikan alam pemikiran colonial.

VI. PENUTUP

Konsep hubungan manusia dengan alam yang diimplementasikan dalam bentuk penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam oleh Orang Pakava adalah sebuah konsep hukum adat (hukum rakyat) yang sangat berbeda dengan konsep hukum barat yang banyak mempengaruhi perundang-undangan dewasa ini. Sebagai sebuah konsep yang lahir dari khasanah budaya pribumi, secara empirik sudah teruji kemanfaatannya. Oleh sebab itu, ia berhak hidup berdampingan dengan hukum Negara dan hukum adat lainnya.

Penghormatan hak adat Orang Pakava dan masyarakat adat lainnya, adalah kewajiban konstitusional. Akan tetapi selama ini tidak ada kemauan politik dari pemerintah Indonesia untuk melakukannya. Sikap pemerintah seperti inilah yang merugikan kepentingan rakyat. Dan kemudian memicu sejumlah konflik agrarian yang dramatis di berbagai daerah di Indonesia.

Sebagai sebuah masyarakat adat, orang Pakava telah mengalami serangkaian tekanan yang membuat mereka kehilangan banyak wilayah adatnya. Tindak kekerasan yang mereka alami, telah meninggalkan trauma panjang; ketakutan terhadap symbol-simbol militer. Ketakutan ada batasnya. Ketika ia melewati batas itu, atau ketika tekanan itu sudah begitu jauh melampaui batas-batas toleransi, maka keberanian mulai timbul. Mungkin sekali orang Pakava tengah mengalami prose situ. Sebagaimana dikatakan oleh Uma I Gampaya seorang pemuka adat orang Pakava:”……sekarang kita tarung nyawa saja. Penghabisan tanah rata, penghabisan nyawa. Kami tidak takut sama tentara. Tentara bukan untuk tembak rakyat. Tentara untuk melawan musuh dari luar. Amerika, Belanda, jepang…,”. Kata-kata itu diucapkan pada bulan April 1998, dalam suatu pertemuan di bamba Apu yang dihadiri oleh masyarakat, aparat militer dan pihak perkeunan kelapa sawit (PT.Pasangkayu).

Pertanyaannya, apakah militer benar-benar akan bersikap sebagimana persepsi Uma I Gampaya?

Kalau pertanyaan petinggi-petinggi militer di media massa akhir-akhir ini dapat dipegang. Maka kata-kata Uma I Gampaya tersebut, telah menemukan momentumnya sekarang ini. Sebaliknya kalau tidak, maka itu berarti Orang pakava harus bekerja jauh lebih keras dalam perjuangannya merebut haknya yang telah dirampas. Perjuangan melalui jalur hukum Negara, sama sekali tidak memadai, meskipun ada ruang yang dapat dipakai untuk itu.

Perjuangan melalui hukum Negara, harus ditempatkan dalam kerangka perjuangan multilevel untuk menata kembali hubungan Negara, rakyat dan sumber daya alamnya . artinya, perjuangan orang pakava harus ditempatkan sebagai bagian integral perjuangan menegakkan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam. Upaya pembenahan internal serta menjalin saling pengertian dengan masyarakat sekitar (termasuk masyarakat transmigrasi) yang dilakukan oleh Orang pakava akhir-akhir ini adalah suatu langkah positif yang patut dikembangkan dalam skala yang lebih luas dan intensitas yang lebih tinggi.

Akhirnya, studi yang lebih dalam dan lebih luas adalah suatu keharusan. Orang Pakava hanyalah sebagian kecil dari masyarakat adat di Sulawesi Tengah yang hidupnya terancam oleh praktik politik agrarian yang menindas.

Catatan kaki

  1. CHALID, Syamsudin: Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Tengah (Laporan Studi),1980.
  2. ANDO, Andi Pelang, Andi: Suku Bunggu Menggugat Tanah Leluhur (tidak diterbitkan). 1998.
  3. DIRMAN: Perundang-undangan Agraria di seluruh Indonesia, B. Woltres, Djakarta,1952.
  4. WIGNJOSOEBROTO, Soetandyo: Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, rajawali Pers, Jakarta, 1994.
  5. GEERTZ, Clifford: Involusi Pertanian, Bratara, Jakarta 1983.
  6. TJONDRONEGORO, Soediono MP & Gunawan Wradi (Ed): Dua Abad Penguasaan Tanah, Gramedia, Jakarta,1984.
  7. HARSONO, Boedi: Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, 1988.
  8. ADIWINATA, Saleh: Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-undang Pokok Agraria. Alumni, bandung, 1975.
  9. HARSONO, Boedi: Hukum Adat dalam Perundang-undangan, dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, BPHN, 1976.
  10. GAUTAMA, Sudargo: Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni , Bandung, 1975.
  11. PARLINDUNGAN,AP: Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria Tata Cara Penjabat Pembuat Akte Tanah,1974.
  12. HARTONO, Sunaryati: Tentang Pengertian Hak Milik Atas Tanah di Indonesia, dalam majalah Padjajaran nomor 3 tahun 1976.
  13. KOESNOE,Mohamad: Perkembangan Hukum Adat Setelah Perang Dunia II dalam rangka Pembaharuan Hukum Nasional, dalam Simposium Sejarah Hukum, BPHN, 1976.
  14. PARLINDUNGAN,AP:ibid
  15. YBH-BANTAYA: Masalah Agraria di Sulawesi Tengah, dalam BACHRIADI,Dianto (Ed): Reformasi Agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria, bandung, 1996.
  16. ABOEBAKAR,Samsudin: Suatu Pandangan Mengenai Lingkungan Hukum Bisnis (Makalah), 1995.
  17. LAUDJENG,Hedar & Arimbi HP: Bayang-bayang Cultuurstelsel dan Domein verklaring dalam Praktik Politik Agraria (Position Paper Walhi), Walhi, 1997.
  18. KOESNOE,Mohamad: Ibid.
  19. SUBEKTI & Tjitrosoedibio: Kamus Hukum, Pradnja Paramita, 1971.
  20. HARTONO,Sunaryati : Ibid
  21. AL RASJID, Harun & Herman Sihombing: Hukum Adat dalam Putusan Hakim, dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, BPHN,19.  
Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest
Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua

Gunawan Wiradi: Noktah Besar Gerakan Agraria

Proyek Survei Agro Ekonomi (SAE) yang berjalan sejak 1968 menjadi cikal baru pendekatan penelitian pertanian: riset mikro. Gunawan Wiradi yang bergabung sejak 1972 dalam proyek tersebut melakukan pekerjaan dengan paripurna. Ia langsung digembleng oleh Sajogyo dengan proses yang amat keras. Di luar dugaan, GW punya kepekaan kualitatif yang tajam. Ia catat rinci bahan-bahan penting yang tak tertampung dalam kuisioner (padahal kuisioner Sajogyo dikenal sangat detail). Catatan itu yang kemudian menjadi sebuah laporan menggetarkan yang berjudul: “Proses Panen dan Alat-alat yang Digunakan.”

Masyarakat Adat dan Kesultanan (Kerajaan)

Terdapat paling sedikit 19 (sembilan belas) istilah peraturan perundang-undangan yang menggunakan kata “Masyarakat Adat/hukum adat/masyarakat tradisional/komunitas adat Masyarakat Adat dengan definisi yang beragam antara lain UU Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Perkebunan, UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya