Masyarakat Adat dan Kesultanan (Kerajaan)

Arimbi Heroepoetri

Masyarakat Adat dalam bingkai Konstitusi dan  Peraturan Perundang-undangan. Merujuk Konstitusi Indonesia, ada tiga pasal yang menjadi landasan eksistensi Masyarakat Adat yaitu: Pasal 18b ayat 2, 28I ayat 3 dan Pasal 32 sebagai berikut:

18b (2)

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam UU.

28I (3)

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban

Pasal 32

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional lndonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional.

Walaupun dalam Amandemen Ke-3 UUD 1945, bagian Penjelasan ditiadakan, namun ada baiknya untuk melihat kembali nuansa batin yang mewarnai kelahiran tiga pasal di atas, yaitu:

PENJELASAN

BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH Pasal 18. I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya  – dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

PENJELASAN

Pasal 28, 29, ayat 1, 34

Pasal ini mengenai kedudukan penduduk.

Pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh penduduk membuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.

PENJELASAN

Pasal 32 Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia terikat pada komitmen internasional tentang pengakuan hak-hak Masyarakat Adat. Pada 13 September 2007 Pemerintah Indonesia ikut menandatangani deklarasi United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang mengamanatkan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak yang sama terkait penghidupan, pendidikan, mempertahankan identitas, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi.

Terdapat paling sedikit 19 (sembilan belas) istilah peraturan perundang-undangan yang menggunakan kata “Masyarakat Adat/hukum adat/masyarakat tradisional/komunitas adat Masyarakat Adat  dengan definisi yang beragam antara lain UU Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Perkebunan, UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.[1]

Masyarakat Adat  merupakan salah satu subjek hukum negara yang diakui dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu definisi tentang Masyarakat Adat dalam UU tertuang dalam Pasal 1 butir 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan: “kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidupnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 31/ PUU-V/2007 merumuskan Masyarakat Adat sebagai: “Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih ada dan/atau hidup (actual existence), apabila setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur: a) ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); b) ada pranata pemerintahan adat; c) ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; d) ada perangkat norma hukum adat; dan e) khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu”. Selain itu, masyarakat adat yang didefinisikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagai  “kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.”

Komnas HAM melihat adanya istilah-istilah Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Masyarakat Tradisional dalam UUD 1945, istilah MHA dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan istilah Masyarakat Adat yang digunakan masyarakat sipil merujuk pada kelompok masyarakat yang sama.  Komnas HAM juga menilai bahwa MHA memiliki hubungan multidimensi dengan tanah dan wilayahnya. Bagi MHA, tanah bukan sekadar sumber ekonomi. Tanah merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan kehidupan masyarakat hukum adat. Beragam ritual adat dilaksanakan sebagai wujud relasi spiritual mereka dengan alam, termasuk hutan. Pengabaian atas relasi MHA dengan tanah dan wilayahnya, asal-usul penguasaan tanah dan wilayah MHA dan sejarah politik agraria yang terjadi selama ini telah berakibat pada rusaknya tatanan kehidupan MHA secara keseluruhan.[2]

Kesultanan dan Kerajaan di Nusantara

Dengan lahirnya Republik Indonesia di tahun 1945,  menandai para kesultan dan kerajaan telah menyerahkan kekuasaannya dan setuju melebur dalam bentuk satu kesatuan Negara. Hal ini diperkuat dalam perjanjian Malino yang dilakukan tahun 1946. Perjanjian Malino dihadiri dari beberapa unsur masyarakat – termasuk perwakilan kerajaan/ kesultanan, Negara Belanda dan Pemerintah Indonesia. Wilayah Kesultanan maupun Kerajaan menyesuaikan dengan sistem Negara Indonesia, kebanyakan menjadi wilayah Kabupaten, yang pimpinannya dipilih secara demokratis melalui proses pemilihan umum.

Sementara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendapatkan status keistimewaannya sejak tahun 1950 berdasarkan UU No. 3 thn. 1950 jo UU No. 13 Thn 2012, di mana dengan tegas dinyatakan bahwa Sultan Yogyakarta otomatis merangkap sebagai Gubernur Propinsi DIY, tanpa melalui proses pemilihan umum, di mana tanah milik kesultanan Yogyakarta tetap diakui sebagai milik Kesultanan dalam lingkup Propinsi DIY.

Sejak paska era reformasi, bermunculan puluhan bahkan ratusan orang yang mengaku sebagai raja dan sultan di seluruh Indonesia. Jumlahnya semakin lama semakin banyak. Sebagian besar dari mereka kemudian bergabung dalam organisasi-organisasi raja dan sultan yang sengaja mereka dirikan untuk memperkuat legitimasi para pengaku bangsawan ini. Mereka juga menempuh jalur hukum sehingga mendapatkan akta notaris dan pengesahan dari instansi pemerintah yang menaungi organisasi kemasyarakatan.

Dewasa ini muncul asosiasi-asosiasi kerajaan. Setidaknya tercatat ada enam asosiasi sebagai berikut:

  1. Badan Pengurus Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara (BP Silatnas).
  2. Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Se-Nusantara (FKIKN).
  3. Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN).
  4. Yayasan Raja dan Sultan Nusantara (Yarasutra).
  5. Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI).
  6. Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN)

BP Silatnas saat ini diduduki oleh Raja Samu Samu VI selaku Sekretaris Jenderal. Asosiasi ini  memiliki badan hukum resmi melalui Akte Notaris sejak tanggal 18 Desember 2008 dan sekaligus menjadi kegiatan Silatnas yang pertama. Kemudian pada 7 Agustus 2009, BP Silatnas baru dibuka resmi oleh Susilo Bambang Yudhoyono (PresidenKe-6) di Istana Merdeka.

FKIKN dipimpin oleh Sekretaris Jenderal GKR,  Koes Muriyah Wardan Sari Gusti Mung. Dari Keraton Solo. Pada tahun 1996 silam, Festival Keraton Nusantara pernah diadakan dan sekarang sudah menjadi agenda kegiatan 2 tahun sekali.

FSKN dipimpin oleh Raja Denpasar IX sebagai Ketua Umum. FSKN ini dibentuk oleh Jero Wacik, menteri pariwisata di tahun 2007 . Dari jumlah 261 kerajaan besar dan kecil seluruh Nusantara, saat ini baru bergabung  118 kerajaan yang tersebar di 23 provinsi. [3] Jumlah ini merupakan hasil penelitian dari Lembaga Pengembangan Penelitian Kerajaan Nusantara (LP2KN). Organisasi ini lahir untuk melestarikan budaya kerajaan yang tersebar di Indonesia. Asosiasi ini terpecah menjadi 2 bagian, yakni FSKN dan FSK Se Nusantara karena adanya konflik internal. FSK Se Nusantara dipimpin oleh Ketua Umum yang bernama Sinuhun Tedjo Wulan.

Asosisasi selanjutnya adalah Yarasutra dipimpin oleh Sultan Mahmud Iskandar Badaruddin (Sultan Palembang) selaku Ketua Umum. Dan asosiasi terakhir adalah AKKI dipimpin oleh Eksekutif Nasional bernama Lalu Parma Padmanegara.[4]

Semua organisasi ini tidak memiliki tujuan yang jelas dan disepakati, program kerja dan kegiatan yang rutin, teratur dan jelas seperti organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Sebagian besar hanya dilegalkan dan digunakan untuk menciptakan pengaruh di masyarakat dan memfasilitasi kepentingan pribadi tokoh-tokoh utamanya. Organisasi Raja dan Sultan ini, tiba-tiba muncul dengan klaim sekian banyak anggota. Persoalannya, organisasi para Raja dan Sultan semalam jadi ini menjadi ajang para politisi untuk mendapatkan pengaruh. Jokowi lebih memilih FSKN. SBY beberapa kali hadir atau menemui anggota dalam acara Silatnas, FSKN dan Yarasutra.

Satu-satunya organisasi para Raja dan Sultan yang berproses panjang adalah Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIKN) yang memiliki sekretariat di Kasunanan Surakarta. FKIKN memiliki syarat yang ketat untuk menyeleksi anggota. Kerajaan setidaknya harus memiliki: raja/sultan dengan garis keturunan yang jelas, istana, adat – istiadat dan acara kultural yang diikuti dan rutin dilakukan masyarakat adat, pusaka, regalia dan mekanisme suksesi yang jelas.

Diinisiasi semasa menteri pariwisata Joop Ave dengan mengadakan Festival Keraton se-Jawa di awal 1990an, FKIKN lalu melebarkan sayap dengan mengajak keraton-keraton lainnya. Setiap dua tahun, FKIKN mengadakan Festival Keraton Nusantara (FKN) yang terakhir diadakan di Istana Cirebon, Jawa Barat  untuk yang kesebelas kalinya, yang juga dihadiri oleh Presiden RI ketujuh: Joko Widodo.

FKIKN sendiri mengalami berbagai masalah, terutama karena kurang ketatnya menyeleksi anggota dan keinginan penyelenggara untuk mengadakan festival yang meriah. Bagi FKIKN, penting untuk memastikan mereka yang hadir di FKN bukan raja abal-abal. Tetapi bagi penyelenggara yang merupakan kerjasama keraton lokal dan pemerintah daerah, semakin banyak peserta festival, semakin meriah dan semakin baik karena memberi tontonan gratis budaya nusantara.

Sehingga, sebagaimana terjadi di FKN IX di Bima, NTB tahun 2014, lolos juga peserta festival abal-abal. Kesultanan Demak misalnya, yang didirikan oleh tukang pijat sekaligus dukun bernama asli Minto, hanya cukup bermodal 25 seragam yang dibawa dari Demak. Di Bima, dia menyewa pelajar lokal untuk bebaris dan berjalan di festival sambil membawa spanduk dirinya yang bergelar “Sri Sultan Surya Alam Joyokusumo”. Untuk Sultan, yang lebih penting adalah namanya diumumkan MC di depan panggung. Sultan Demak ini menjadi salah satu inisiator pengukuhan Dimas Kanjeng Taat Pribadi sebagai Raja.[5]

Kemudian FKIKN semakin bebenah diri dan bergabung bersama Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN)  dan membentuk Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) di bulan Agustus 2019. Ada 36 Deklarator Kerajaan dengan Ketua Harian YM Dr KPH Eddy S Wirabhumi.,SH.MM dari Kasunanan Surakarta. Mungkin belajar dari pengalaman lalu, maka syarat kerajaan yang masuk dalam MAKN dipertegas sebagai berikut: 1.  Raja/Sultan yang bertahta sudah dinobatkan oleh lembaga adat kerajaan/kesultanan yang sah secara adat dan juga diketahui oleh masyarakat adatnya; 2.  Masih masih memiliki istana/kraton yang mempunyai nilai kesejarahan turun-temurun; 3. Memiliki silsilah turun-temurun yang jelas dan valid sebagai Raja/Sultan; 4. Mempunyai lambang , bendera dan pusaka, cagar budaya dan situs sejarahnya; 5. Mempunyai masyarakat adat kerajaan. Dengan demikian, akan sulit mereka yang sekedar klaim tanpa bukti untuk menjadi anggota FkIKN.

Tapi sebenarnya, berapa jumlah kerajaan yang memiliki perjanjian panjang (lange contraact) dan pendek (korte verklaring) dengan Belanda sebelum Jepang datang? Dokumen Belanda (Staatblad) mengatur terdapat 14 kerajaan/kesultanan di Indonesia yang memiliki kontrak panjang dengan Belanda dan 268 yang memiliki kontrak pendek. Jika demikian, apakah kontrak di atas dapat dijadikan landasan utama untuk menentukan eksistensi kerajaan/kesultanan di Indonesia?

Selain kontrak panjang, ke 268 kontrak pendek yang diatur melalui Staatblad 1919/822 lebih banyak terdiri dari pimpinan klan/kelompok mayoritas berada di wilayah Timur. Para kepala adat setingkat desa ini, misalnya di Maluku, Tapanuli dan Flores, juga disebut sebagai “Raja”.[6] Ini bentuk intervensi Belanda kepada kekuasaan kerajaan di Nusantara, dengan mengidentifikasi kekuatan politik lokal, kemudian membentuk semacam kerajaan melalui kesepakatan bersama lewat korte verklaring. Misalnya di Sulawesi di Abad 18 (1825), ketika kekuasaan Kesultanan Ternate mulai meredup, maka dibentuklah keresidenan di mana belanda menunjuk pejabat dengan pangkat controleur. Di bawah Controleur inilah terdapat pemerintahan oleh Raja-raja. Di Kepulauan Sangir Talaud (Sulawesi Utara) misalnya ada lima kerajaan yang pembentukannya melalui campur tangan Belanda, yaitu: 1. Kerajaan Kendar-Tahuna; 2. Kerajaan Tabukan; 3. Kerajaan Manganitu; 4. Kerajaan Siau; dan 5. Kerajaan Tagulandang.

Di Gorontalo, sebagai akibat kemenangan Belanda dalam Perang Panipi di tahun 1873, praktis daerah Gorontalo langsung berada di bawah kekuasaan Belanda. Kekuasaan Raja – Raja Gorontalo diakhiri dengan Besluit (Keputusan) Gubernur Jenderal  Hindia Belanda, 17 April 1889 (Staatsblad No. 96 dan 250 tahun 1889). Raja-raja terakhir yang memerintah Gorontalo adalah sebagai berikut: 1. Kerajaan Limboto Barat; 2. Kerajaan Limboto Timur; 3. Kerajaan Gorontalo Barat; 4. Kerajaan Gorontalo Timur;dan 5. Kerajaan Suwawa- Bone.

Di Bolaang Mongondow pada akhir Abad 19 terdapat lima kerajaan yang berpemerintahan sendiri (zelfbestuurendelandschappen), yaitu: 1. Kerajaan Bolaang Mongondow; 2. Kerajaan Bolaang Uki; 3. Kerajaan Bintauna; 4. Kerajaan Bolaang Itang; dan 5. Kerajaan Kaidipang.

Semua kerajaan tersebut diikat dengan Korte Verklaring/ Piagam Perjanjian Pendek, setiap pergantian Raja, maka perjanjian akan diperbahrui kembali. Semua korte verklaring isinya didahului dengan janji bahwa Raja mengakui pertuanan Kerajaan Belanda dan pemerintahan hindia Belanda atas rakyat dan wilayah kerajaannya. Raja dan rakyat tidak diperkenankan mengadakan setiap bentuk hubungan dengan bangsa lain atau mengizinkan bangsa lain berdiam di dalam wilayah kerajaan tanpa izin pemerintah kolonial Belanda. Raja dan pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah kolonial. Raja tidak berhak mengadili orang yang bukan rakyatnya, dan Raja wajib menyetor emas atau barang lainnya ke pemerintah kolonial.[7]

Beberapa Masalah tentang eksistensi Raja/Sultan

  1. Tidak diakuinya Eksistensi MA oleh Pemerintah Daerah setempat

Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM menemukan adanya kondisi khusus masyarakat adat terkait dengan kesultanan-kesultanan yang ada, yaitu Pemerintah Daerah hanya mengakui keberadaan masyarakat dalam bentuk Kesultanan. Hal ini terjadi pada Pemerintah Kabupaten Sumbawa yang mengakui Masyarat Adat Cek Bocek (Selesek Reen Sury) sebagai masyarakat asli Sumbawa, namun menyangkal status mereka sebagai Masyarakat Adat. Pemerintah Kabupaten Sumbawa hanya mengakui Lembaga Adat Tanah Samawa (wujud baru Kesultanan Sumbawa) sebagai satu-satunya lembaga adat di Kabupaten Sumbawa. Akibatnya Pemda Sumbawa tidak mengakui eksistensi Masyarakat Adat Pekasa di Desa Jamu; Masyarakat Adat  Talonang di Desa Talonang, MHA Berco (Cek Bocek Selesek Reen Sury) di Desa Lawin,  ataupun Masyarakat Adat lainnya yang mendiami wilayah Sumbawa seperti; Semawa Baturotok atau Batulante, Ropang Suri, Selesek, Lebah, Dodo, Jeluar, Tanganam, Geranta dan Jeruweh.

Permasalahan serupa juga dialami masyarakat adat di Kabupaten Halmahera Tengah di Maluku Utara, masyarakat adat di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dan masyarakat adat di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.[8]

  1. Bupati yang Mengangkat Dirinya sebagai Raja

DPRD Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Agustus 2016 telah mensahkan Perda No. 5 Tahun 2016 tentang Lembaga Adat Daerah (LAD). Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa siapapun yangmenjabat sebagai Bupati Gowa, otomatis adalah Raja Gowa (Sombayya) dalam kapasitas sebagai Ketua Lembaga Adat Daerah. Bupati Gowa Adnan Puricha Ichsan Yasin Limpo, kemudian dilantik sebagai Raja (Sombayya) oleh DPRD setempat di Istana Balla Lompoa sebagai amanah dari Perda yang dibuatnya. Bupati Gowa ini, adalah putera mantan Bupati Gowa dua, Ichsan Yasin Limpo, sekaligus keponakan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, yang juga pernah menjabat sebagai Bupati Gowa.

Jabatan Bupati Gowa sebagai Raja atau Sombayya inilah yang kemudian memicu protes masyarakat, jauh sebelum Perda ini disahkan DPRD Kabupaten Gowa. Ketika masih berbentuk Rancangan Perda, sejumlah tokoh adat dan komunitas, sudah pernah mendatangi DPRD untuk berdemo, namun tidak ditanggapi hingga kemudian disahkan menjadi Perda.

Ketegangan demi ketegangan terus memuncak antara Bupati Gowa dengan keluarga Kerajaan Gowa. Klimaksnya adalah sehari sebelum Idul Adha 1437H, terjadinya bentrokan antara prajurit Raja Gowa ke-37 I Maddusila Daeng Manyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II dengan Petugas Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) yang ditugaskan oleh Bupati untuk menjaga Istana Balla Lompoa. [9]

  1. Kisah Kanjeng Abal-abal

Pada 11 Januari 2016, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang sempat merajai berita nasional karena kasus penggandaan uang dan pembunuhan, dinobatkan sebagai Raja Anom. Gelar yang dipilih adalah “Sri Raja Prabu Rajasa Negara” yang mengingatkan kita pada gelar-gelar jaman Majapahit. Salah satu istrinya, diberi kedudukan permaisuri dengan gelar “Nyi Ageng Rahmawati” yang dekat dengan gelar kebangsawanan di Banten. Asosiasi Keraton Kesultanan Indonesia (AKKI) yang menobatkan Taat Pribadi menjadi Raja Anom mengklaim memiliki 147 anggota yang tidak terdaftar dalam Staatblad Belanda 1919.

Masyarakat Adat adalah Entitas yang Berbeda dengan Kesultanan/ Kerajaan

Dengan berdasarkan dua argumen di bawah ini, maka akan memperjelas perbedaan antara Masyarakat adat dengan Kesultanan.

  1. Kesultanan atau Kerajaan tidak memiliki hubungan yang kuat dengan lingkungan sekitar

”Kelompok masyarakat yang secara turun- temurun bermukin di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup. Serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum (Pasal 1 butir 31 UU 32 Tahun 2009)”.

Kedekatan MA pada teritori/wilayah adalah karena wilayah adalah sumber penghidupan dan kehidupan mereka, sehingga mereka akan memelihara wilayahnya/lingkungannya sebagaimana mereka menjaga kehidupannya. Bagi MA, tanah bukan sekadar sumber ekonomi. Tanah merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan kehidupan masyarakat hukum adat. Beragam ritual adat dilaksanakan sebagai wujud relasi spiritual mereka dengan alam.

Masyarakat adat memiliki ciri khusus dalam tata kelola SDA mereka, baik tata kelola atas tanah, hutan, pesisir dan laut maupun keragaman tata produksi dan konsumsi mereka. Pengetahuan dan kearifan lokal tentang tata kelola hutan dan SDA di sekitarnya diwariskan secara turun-temurun, baik dalam tradisi dan praktik budaya maupun dalam bentuk tulis, terus mengalami adaptasi, inovasi, dan dinamika selaras dengan perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta lingkungannya. Namun demikian, prinsip-prinsip nilai dan norma adat yang dimiliki sebagian besar masih memiliki fungsi-fungsi yang selaras dengan prinsip keberlanjutan SDA dan ekosistem. Dalam beberapa kasus di komunitas MA model tata kelola SDA yang telah dipraktikkan secara turun temurun oleh MA bahkan dianggap dan terbukti lebih baik dari bentuk-bentuk konservasi dan pelestarian lingkungan yang dibuat oleh negara, swasta atau para penganjur konservasi dan pelestari lingkungan lainnya.

Sementara teritori/wilayah bagi kerajaan / kesultanan adalah tanda kekuasaan dan kekayaan mereka. Rakyat yang berada di teritorinya akan membayar semacam pajak kepada Raja/Sultan sebagai tanda pernyataan setia/berserah diri.

  1. Kerajaan/kesultanan sekarang tidak memenuhi unsur Penjelasan Pasal 18 konstitusi sebagai zelfbestuurendelandschapen

“Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya  – dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut (Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 Paragraph II)”

MA adalah kelompok terkecil dalam Negara bangsa yang mengatur kehidupannya sendiri seperti yang ditengarai dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen). Karena itu MA memiliki aturan adat yang mengatur dan mengikat sendi kehidupan komunitas adatnya. Bahkan MA masih memiliki peradilan adat yang mengikat komunitasnya.

Sementara kerajaan lahir dari gabungan beberapa kekuatan dalam masyarakat, yang mungkin lahir karena peperangan ataupun persekutuan.

PENUTUP: Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Masyarakat Adat dihormati dan diakui berdasarkan konstitusi, berbagai peraturan perundang-undangan juga UNDRIP yang kelak bermuara pada UU tentang Masyarakat Adat. Sementara jejak pengakuan Kerajaan/kesultanan dalam konstitusi maupun perundang-undangan adalah lemah. Karena itu eksistensi kerajaan/kesultanan dewasa ini lebih tepat sebagai salah satu pewaris, pemangku atau pemelihara adat dalam konteks budaya sebagaimana tercantum dalam pasal 32 UUD 1945. Sehingga, Kerajaan/Kesultanan tidak memiliki basis klaim yang sah untuk meminta kembali wilayah kerajaan/kesultanannya di masa lampau, ataupun turut serta sebagai salah satu unsur dalam pemerintahan dewasa ini.

Para Keturunan kerajaan dan kesultanan se-Indonesia yang tergabung dalam berbagai macam asosiasi, sebaiknya memiliki definisi yang jelas untuk membuktikan bahwa mereka sahih (legitimate) sebagai keturuan keraton/kerajaan. Batasan yang digunakan FKIKN dapat menjad iacuan, yaitu: Kerajaan setidaknya harus memiliki: raja/sultan dengan garis keturunan yang jelas, istana, adat istiadat dan acara kultural yang diikuti dan rutin dilakukan, pusaka, regalia dan mekanisme suksesi yang jelas. Dengan demikian, kontribusi Kerajaan/Kesultanan akan jelas, yaitu sebagai pemelihara budaya bangsa, dan karena itu Negara wajib untuk mengakui dan melindunginya. Apalagi dewasa ini banyak keturunan kerajaan yang kesulitan untuk  memelihara istananya, manuskripnya ataupun berbagai macam warisan budaya, seperti tari-tarian dan olah seni lainnya. Sekaligus untuk menghindari lahirnya raja abal-abal yang tidak jelas asal-usul silsilahnya.

2. Berbeda dengan Masyarakat Adat, Kerajaan/Kesultanan belum memiliki definisi yang baku, sehingga potensi klaim sebagai Raja atau Sultan masih besar. Karena itu, perlu adanya  benchmark tentang Kesultanan / kerajaan. Tentu saja sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan menghasilkan lagi Kerajaan/ Kesultanan baru di dalam payung NKRI, yang perlu dilakukan adalah menginventarisasi  kesultanan/kerajaan di masa lalu. Diusulkan basis perhitungan eksistensi Kesultanan dan kerajaan adalah berdasarkan perjanjian jangka panjang dan jangka pendek antara pemerintah hindia belanda dengan berbagai kesultanan/kerajaan nusantara di masa lalu berdasarkan stb. 1919/822. Maka total setidaknya akan mencapai  14 kerajaan besar dan 268 kerajaan kecil.

3. Perlu ada penertiban Perda-perda yang mengatur tentang Kesultanan/kerajaan seperti yang terjadi di Gowa maupun Sumbawa. Perda di Sumbawa yang hanya mengakui Lembaga Adat Samawa sebagai masyarakat adat di Sumbawa berbasis bekas kerajaan Sumbawa jelas mengingkari fakta. Pertama, bahwa kerajaan Sumbawa sebagai bentuk kekuasaan yang mengatur kehidupan warga sudah tidak ada, dan kedua, menegasikan keberadaan masyarakat adat lainnya di wilayah tersebut sebagaimana diakui oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan.  Demikian juga jika merujuk definisi masyarakat adat dari berbagai peraturan perundang-undangan,  Perda tentang Lembaga Adat Samawa tersebut juga melampaui kewenangannya sebagai sebuah peraturan daerah, jika keputusan-keputusan adat di Sumbawa hanya dapat dilakukan oleh Lembaga Adat Samawa.

 LAMPIRAN

TABEL I: Daftar kerajaan Nusantara

Kerajaan-kerajaan di Jawa Barat  Kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur Demak, Pajang, Mataram  
1. Banten 2. Priangan  3. Surakarta 4.Yogyakarta 5.Mangkunegaran
6. Pakualaman 7. Madura  
Kerajaan-kerajaan di Aceh  Kerajaan-kerajaan di Gayo (Kejuron)  
8. Aceh9. Cek 10. Buket 11. Karang 12. Linggo 13. Petiambang 14. Serbojadi Abok 15. Siah Utama
Kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara, Barat dan Timur  Kerajaan-kerajaan di Sumatera Selatan
16. Asahan 17. Batak 18. Deli 19. Langkat 20. Minangkabau 21. Indrapura 22. Inderagiri dan Keritang 23. Kampar 24. Kepenuhan 25. Kuantan dan Kandis 26. Kuntur Daressalam 27. Pelalawan 28. Riau Lingga 29. Rokan 30. Segati 31. Siak Sri Inderapura 32. Tambusai33. Jambi 34. Palembang  
Kerajaan-kerajaan di BengkuluKerajaan-kerajaan di Bali  
35. Sungai Serut 36. Selebar 37. Depati Tiang Empat 38. Sungai Lemau 39. Sungai Itam 40. Anak Sungai  41. Badung 42. Bangli 43. Buleleng 44. Gianyar 45. Jembrana 46. Karangasem 47. Klungkung 48. Mengwi 49. Tabanan  
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan BaratKerajaan-kerajaan di Kalimantan Tengah dan Selatan  
50. Kubu 51. Landak 52. Meliau 53. Mempawah 54. Pontianak 55. Sambas 56. Sanggau 57. Selimbau 58. Simpang 59. Sintang 60. Sukadana 61. Matan 62. Tayan 63. Bunut 64. Jongkong 65. Piasa 66. Suhaid 67. Silat  68. Banjar 69. Kotawaringin  
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan Timur  Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Utara  
70. Berau 71. Bulungan 72. Gunung Tabur 73. Kutai Kartanegara 74. Pasir 75. Sambaliung 76. Tanah Tidung  77. Bolaang
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah  Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan  
78. Banawa 79. Bangga 80. Banggai 81. Bungku 82. Buol 83. Dolo 84. Kulawi 85. Mori 86. Moutong 87. Palu 88. Parigi 89. Poso 90. Sigi 91. Tawaili 92. Tojo  93. Toli-Toli 94. Una-Una  95. Bone 96. Gowa-Tallo 97. Soppeng 98. Wajo 99. Luwu  
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara  Kerajaan-kerajaan di Maluku  
100. Konawe – Laiwoi 101. Buton  102. Ternate 103. Kesultanan Tidore 104. Kesultanan Jailolo 105. Kesultanan Bacan  
Kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara Barat Kerajaan-kerajaan di Pulau SumbawaKerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara Timur Kerajaan-kerajaan di Pulau Flores

106. Bima 107. Dompu 108. Pekat (Papekat) 109. Sanggar (ada di Lambu) 110. Sumbawa 111. Tambora  112. Larantuka 113. Manggarai  
Kerajaan-kerajaan di Pulau Timor   
114. Amabi 115. Amanatun 116. Amanuban 117. Amarasi  118. Amfoan 119. Foenay  120. Helong 121. Insana 122. Kupang 123. Lamakmen 124. Miomaffo 125. Molo    https://rsyahroni.wordpress.com/2014/08/21/keberagaman-raja-nusantara-kumpul-di-istana/   (sumber :
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg04126.html)  

[1] Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, “Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif terpencil‟, 2013, hal.2

[2] Inkuiri Nasional Komnas HAM, Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Jakarta, 2015, hal.97

[3] Keberagaman Raja Nusantara Kumpul di Istana  Agustus 21, 2014, oleh rhsyahroni, (Sumber :
http://koran.kompas.com/read/xml/2008/11/30/02545263/raja.nusantara.kumpul.di.istana

[4] Mohammad Hibatul Wafi Albadruzzaman , https://perpushibah.blogspot.co.id/2014/12/lima-asosiasi-keraton.html, (19 Desember 2014) diunduh 17 sept 2017

[5] Sumber : kompas.com http://redaksiindonesia.com/read/raja-abal-abal.html

[6] Sumber : Bayu Dardias, kompas.com http://redaksiindonesia.com/read/raja-abal-abal.html

[7] Bambang Suwondo, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Jakarta, 1978, hal. 25 dan 26

[8] Op.,cit catatan kaki 2, hal. 133

[9] Bupati Gowa Jadi Raja, ini Komentar Akbar Faisal (DPR-RI), 15 September 2016, http://www.kompasiana.com/daeng2011/bupati-gowa-jadi-raja-ini-komentar-akbar-faisal-dprri_57d9f77345afbd345bb7bb72, diunduh 17 September 2017.

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest
Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua

Gunawan Wiradi: Noktah Besar Gerakan Agraria

Proyek Survei Agro Ekonomi (SAE) yang berjalan sejak 1968 menjadi cikal baru pendekatan penelitian pertanian: riset mikro. Gunawan Wiradi yang bergabung sejak 1972 dalam proyek tersebut melakukan pekerjaan dengan paripurna. Ia langsung digembleng oleh Sajogyo dengan proses yang amat keras. Di luar dugaan, GW punya kepekaan kualitatif yang tajam. Ia catat rinci bahan-bahan penting yang tak tertampung dalam kuisioner (padahal kuisioner Sajogyo dikenal sangat detail). Catatan itu yang kemudian menjadi sebuah laporan menggetarkan yang berjudul: “Proses Panen dan Alat-alat yang Digunakan.”

Masyarakat Adat dan Kesultanan (Kerajaan)

Terdapat paling sedikit 19 (sembilan belas) istilah peraturan perundang-undangan yang menggunakan kata “Masyarakat Adat/hukum adat/masyarakat tradisional/komunitas adat Masyarakat Adat dengan definisi yang beragam antara lain UU Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Perkebunan, UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya