Menggunakan PCP – ADB dalam Advokasi ICWRMIP

Oleh

Dadang Sudarja, Koordinator ARUM

ARUM (Aliansi Rakyat untuk Citarum)

Aliansi Rakyat untuk Citarum (ARUM) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil dan individu yang peduli mengenai kelangsungan hidup sungai Citarum agar dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. ARUM telah melakukan pemantauan ICWRMIP sejak Februari 2008, dan telah melakukan kontak dengan BAPPENAS, PU, BBWS, dan termasuk juga tim manajemen ADB sebagai usaha untuk mendapatkan informasi dalam perencanaan ICWRMIP. ARUM telah melakukan studi dokumen yang berhubungan dengan ICWRMIP dan kebijakan ADB. ARUM juga melakukan pemantauan ke lapangan untuk melihat implementasi perencanaan ICWRMIP ini.  ARUM didukung oleh IeSR (Institute for Essential Services Reform), KruHA (Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air), debtWATCH Indonesia, Koalisi Ornop Jabar, E-LAW Indonesia, Perkumpulan Boemi, Bandung Information Governance Studies (BIGS),  Skepo, Inisiatif, PSDK, PBAL, P3MS, Yayasan Lestari dan individu-individu lainnya.

PENGANTAR: Sekilas Proyek ICWRMIP)/ Proyek Investasi Pengelolaan Sumber Air Citarum yang Terintegrasi

Sampai tahun 2009,  terdapat 20 proyek di sektor air yang mendapat kucuran dana dari ADB, di mana 13 proyek mendapat dana hibah, sementara sisanya (7 proyek) dalam bentuk pinjaman.

Status pinjaman dan hibah ADB untuk proyek ICWRMIP sudah dimulai sejak tahun 2004, yaitu sejak adanya persetujuan hibah sebesar 1 juta USD untuk penelitian awal proyek tersebut (TA-4381 INO: Integrated Citarum Water Resources Management), kemudian berlanjut dengan digelontorkannya serial dana hibah, sampai akhirnya ada persetujuan utang sebesar total 500 juta USD (Multi-Tranche Financing Facility: 37049-01), tanggal 4 Desember 2008 lalu.[1]

Hutang untuk fase I ICWRMIP akan digunakan untuk: (i) perencanaan dan pelembagaan bagi pengelolaan summber air yang terintegrasi; (ii) pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air (termasuk rehabilitasi Kanal Tarum Barat (KTB); dan (iii) perlindungan lingkungan, termasuk dukungan untuk pengelolaan program investasi. Hasil yang diharapkan adalah (i) peningkatan  jaminan suplai air ke Jakarta dan air irigasi dari KTB; (ii) meningkatkan efisiensi penggunaan air dan menigkatk panen untuk irigasi beras di tiga kabupaten di DAS Citarum; (iii) peningkatan yang signifikan dalam jumlah masyarakat – dan lembaga swadaya masyarakat—yang berinisiatif untuk memperbaiki pengelolaan tangkapan air di DAS Citarum, dan (iv) meningkatkan kualitas air dalam penampungan air DAS Citarum.[2]

Rehabilitasi Kanal Tarum Barat (KTB) adalah komponen penting bagi fase pertama ICWRMIP. KTB adalah kanal sepanjang 68,3 km yang mengambil air dari sungai Citarum untuk dipergunakan sebagai sumber air utama untuk irigasi, industri dan rumah tangga sepanjang kanal di Karawang, Bekasi dan Jakarta metropolitan. Pinjaman untuk fase I adalah 50 juta USD, yang merupakan bagian dari total 500 juta USD untuk seluruh proyek ICWRMIP. 

Jangka waktu program ICWRMIP  adalah 15 tahun yang didisain untuk menghadapi berbagai masalah dan keperluan akan penyediaan air yang berkelanjutan serta penurunan kualitas air  di DAS Citarum. Daerah ini mencakup 13,000 km2 dan rumah bagi lebih dari 9 juta orang, merupakan daerah yang paling strategis untuk Indonesia— DAS ini mensuplai 80% kebutuhan air Jakarta, mengairi untuk 240,000 ha irigasi, dan sumber bagi 1,400 MW listrik.   Tidak tepatnya pengelolaan institusi, hancurnya infrastruktur, perebutan kebutuhan air, dan pesatnya pertumbuhan urban dan industri menyumbang berkurangnya pasokan air dan kondisi lingkungan yang tidak sehat sepanjang DAS, karena itu diperlukan program intervensi yang terintegrasi. Dengan bantuan ADB, Direktorat Jenderal Sumber Air, Kementerian Pekerjaan Umum telah mempersiapkan perencanaan strategis (disebut juga ‘road map’) untuk pengelolaan dan pembangunan secara terintegrasi DAS Citarum. Tujuan jangka panjangnya (goal) adalah pengelolaan secara berkelanjutan sumber-sumber air untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Sedangkan, tujuan jangka pendek (immediate objective) adalah untuk meningkatkan ketersediaan air dan kapasitas untuk pengelolaan umber air yang terintegrasi/partisipatif. Road map ini dianggap sebagai perencanaan strategi pemerintah Indonesia – yang sangat pentng untuk memfasilitasi implelementasi dari UU no. 7 Thn. 2004 tentang Air, serta untuk perencanaan program dan koordinasi bantuan dari berbagai sumber. 

Kebijakan Penggusuran dan Rencana Pemukiman kembali

Salah satu kewajiban pemerintah Indonesia untuk mendapatkan persetujuan pinjaman dari ADB adalah membuat Rencana Pemukiman Kembali (Resettlement Plan) untuk Fase I ICWRMIP yang ditujukan untuk rehabilitasi Tarum Kanal Barat.

Rencana Pemukiman Kembali ini harus mengacu kepada kebijakan-kebijakan ADB, diantaranya adalah kebijakan Penggusuran (Involuntary Resettlement Policy,1995) dan Kebijakan Komunikasi Publik (Public Communication Policy,2003).[3] Tanggal 11 Agustus 2008, ADB mengumumkan draft Rencana Pemukiman Kembali yang diajukan oleh pemerintah Indonesia di situsnya nya agar mendapatkan input dari masyarakat.

ARUM[4] mengkritisi draft Rencana Pemukiman Kembali tersebut, dan hasil temuannya dikirimkan kepada pengelola proyek di ADB, termasuk juga kepada Dewan Direktur akhir November 2008 lalu, dan dan diulang kembali dalam pertemuan Tahunan ADB di Bali, Mei 2009. Beberapa temuan ARUM atas dokumen draft Rencana Pemukiman Kembali tersebut adalah:

  • Kanal ini melewati tiga wilayah: Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi di mana ada kelompok masyarakat yang harus mengalami penggusuran karena proyek ini. Draft Rencana Pemukiman Kembali untuk rehabilitasi Kanal Tarum Barat ini mengidentifikasikan akan ada 872 rumah tangga yang akan digusur atau dipindahkan. ARUM menilai penentuan mereka yang terkena dampak tidaklah berdasarkan jumlah rumah tangga, tetapi haruslah dalam satuan ‘orang yang terkena dampak’. Dengan demikian, yang berpotensi terkena dampak akan lebih dari 872 orang.
  • Ketidakjelasan dalam mekanisme untuk melihat kelangkaan lahan dan isu-isu kepemilikan
  • Tidak ada jaminan restorasi penghidupan kepada masyarakat yang terkena dampak, mengingat adanya kesenjangan dalam ukuran-ukuran bantuan tersebut. Strategi persiapan sosial tidak jelas dan tidak dapat diterima.
  • Proses pemukiman tidak jelas dan tidak partisipatoris.
  • Tidak memadainya keterbukaan informasi bagi publik dan konsultasi, terutama bagi keluarga yang terkena dampak. Bahkan pemerintah-pemerintah daerah pun tidak mengetahui pasti tentang rencana pemukiman kembali ini.

Konsultasi Publik

ADB menyatakan bahwa dalam fase I PPTA (Project Preparatory Technical Assistance) ICWRMIP telah melakukan apa yang disebut sebagai “beneficiary consultation meeting” (pertemuan konsultasi penerima manfaat) yang dilaksanakan 14 Juni 2005 di Bekasi untuk pemangku kepentingan di kawasan hilir dan dihadiri 25 peserta, serta tanggal 16 Juni 2005 di Bandung untuk pemangku kepentingan di kawasan hulu, yang dihadiri 38 peserta. Dalam konsultasi tersebut telah dipresentasikan    “paket ukuran-ukuran untuk mengatasi sebab-sebab utama dari masalah. Lima “misi” yang menjadi mandat dari UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang digunakan sebagai kerangka kerja penilaian masalah. Analisa “pohon masalah” mengidentifikasikan 11 masalah utama, 27 penyebab dan 97 ukuran-mengatasinya. Ukuran ini kemudian dikelompokkan dalam list 18 proyek. Kemudian diurutkan dengan melihat pertimbangan sosial, lingkungan, keuangan, institusi dan teknis. ( …to draw up a package of measures to counter the primary causes of the problems. The five “missions” mandated by the national water law (Law No. 7/2004) were used as a framework for basinwide problem assessment. The “problem tree” analysis identified 11 main problems, 27 causes and 97 countermeasures. The countermeasures were then grouped into a long list of 18 projects. These were then ranked using multiple criteria that took into account social, environmental, economic financial, institutional and technical considerations).

Masukan dari kedua konsultasi di atas kemudian diolah kembali oleh tim PPTA, kemudian hasilnya dipresentasilkan kembali oleh pemangku kepentingan di wilayah DAS dalam pertemuan tanggal 4 dan 5 Juli 2005 di Jakarta, yang dihadiri oleh 71 peserta.

Tidak adanya partisipasi publik sejak awal proses pembuatan studi lingkungan. Keseluruhan proses pembuatan dokumen termasuk dokumen lingkungan sudah seharusnya diinformasikan kepada pemangku kepentingan serta publik secara luas. Semangat ini nampak dalam  executive summary kebijakan komunikasi (PCP) ADB[5]: “… ADB akan secara proaktif membagi informasi dan pengetahuannya atas pekerjaan-pekerjaannya dengan para pemangku kepentingan dan masyarakat” (…ADB will proactively share its knowledge and information about its works with stakeholders and the public at large). Namun, faktanya hanya segelintir orang yang terlibat dalam proses ini, setidaknya itu yang diakui oleh ADB dalam dokumennya. Tiga kali ‘beneficiary consultant meeting” yang dilaksanakan tanggal 14 Juni 2005, 16 Juni, dan 4 – 5 Juli, 2005 di Bekasi, Bandung dan Jakarta dan total dihadiri 134 peserta, tentu saja tidak cukup memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam kebijakan PCP ADB sendiri.[6]

Ketersediaan informasi di mana publik dapat dengan mudah mengakses dokumen-dokumen program Informasi, terutama kepada masyarakat yang berpotensi terkena dampak program dengan jelas diatur dalam paragraf 74 dan 75 PCP, juga paragraf 64 Kebijakan Lingkungan. Namun, pengalaman selama ini, dokumen yang tersedia baru ditayangkan dalam website ADB. Itupun tidak dapat menjawab pertanyaan dasar, seperti akan diapakan DAS Citarum ini? Bagaimana cara pengelolaannya? Siapa yang teruntungkan? Siapa yang bertanggung jawab? Di atas itu, tentu saja ketersediaan dokumen yang hanya ada di website akan menutup peluang masyarakat yang berpotensi terkena dampak untuk mengaksesnya, mengingat tidak semua masyarakat umum memiliki akses ke komputer dan situs internet.

PENUTUP

Konsultasi dan partisipasi publik dalam proyek ICWRMIP jelas sangat minim, jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Ada lima keberatan utama kami yang terus-menerus kami suarakan ke pihak ADB dan pemerintah Indonesia terkait, yaitu:

1. Masalah dalam Rencana Pemukiman kembali

2. Minimnya Konsultasi Publik

3. Lemahnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

4. Tentang ketidakjelasan MFF:  Multi -tranche Financing Facility

5. Pinjaman proyek ICWRMIP dan Kondisi Utang Indonesia

Karena itu kami menuntut

ADB membatalkan pinjaman untuk poyek ini sampai terjadinya perbaikan-perbaikan yang signifikan dari proyek yang tunduk pada kebijakan ADB sendiri, dan praktik-praktik terbaik berdasarkan standar internasional. Dokumen-dokumen penting yang dihasilkan proyek ini harus terbuka untuk publik, dan menjadi subyek untuk dikonsultasikan ke para pemangku kepentingan, dan kepada masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak.

Pemerintah Indonesia menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam menjalankan pembangunan, dengan membuka ruang partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam aspek pembangunan, dan mengembangkan sistem pemerintahan yang akuntabel. Serta berusaha mengembangkan arah pembangunan yang tidak bertumpu kepada utang, melainkan membangun kekuatan mandiri dalam negeri.

Masyarakat melakukan pemantauan pembangunan agar disain, arah dan hasil pembangunan benar-benar ditujukan untuk kemakmuran rakyat, seperti dijamin dalam konstitusi Indonesia.


[1] Sumber: http://www.adb.org/Projects/summaries.asp?query=&browse=1&ctry=INO&sctr=3000&sctr=3800&sctr=3900&stat=1&type=1&type=2&type=3&type=4

[2] Link: http://pid.adb.org:8040/pid/LoanView.htm?projNo=37049&seqNo=02&typeCd=3

[3] Sampai sekarang ADB telah menghasilkan 35 kebijakan. Selengkapnya dapat dilihat di http://www.adb.org/Development/policies.asphttp://www.adb.org/Development/policies.asp

[4] Laporan tersebut dikerjakan oleh Diana Goeltom (debtWATCH Indonesia), Arimbi Heroepoetri (E-LAW Indonesia) dan Hamong Santono (KruHA) dengan dukungan teknis dan penyuntingan dari BIC-SEA. Rezki Wibowo dari TI – Indonesia membantu memberikan analisis kerangka anti-korupsi, sementara Prof. Wijanto Hadipuro dari Universitas Soegijapranata mendukung analisis IWRM.

[5] Public Communication Policy (PCP) ADB, 2005

[6] Perlunya partisipasi publik dapat dilihat juga dalam Kebijakan tentang Air (Water Policy), PCP dan Kebijakan Lingkungan dari ADB.

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest
Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua

Gunawan Wiradi: Noktah Besar Gerakan Agraria

Proyek Survei Agro Ekonomi (SAE) yang berjalan sejak 1968 menjadi cikal baru pendekatan penelitian pertanian: riset mikro. Gunawan Wiradi yang bergabung sejak 1972 dalam proyek tersebut melakukan pekerjaan dengan paripurna. Ia langsung digembleng oleh Sajogyo dengan proses yang amat keras. Di luar dugaan, GW punya kepekaan kualitatif yang tajam. Ia catat rinci bahan-bahan penting yang tak tertampung dalam kuisioner (padahal kuisioner Sajogyo dikenal sangat detail). Catatan itu yang kemudian menjadi sebuah laporan menggetarkan yang berjudul: “Proses Panen dan Alat-alat yang Digunakan.”

Masyarakat Adat dan Kesultanan (Kerajaan)

Terdapat paling sedikit 19 (sembilan belas) istilah peraturan perundang-undangan yang menggunakan kata “Masyarakat Adat/hukum adat/masyarakat tradisional/komunitas adat Masyarakat Adat dengan definisi yang beragam antara lain UU Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Perkebunan, UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya