Mendorong Perubahan Paradigma Energi; Dari Energi Fosil Menuju Tata Kelola Energi Terbarukan Ramah Lingkungan

ashwini-chaudhary-zwqh-lX2_7I-unsplash

Oleh : Deddy Ratih[1]

Pengantar

Sejak tahun 1970-an upaya penggunaan Energi Terbarukan mulai diperbincangkan, awalnya sebagai alternatif energi selain energi berbahan baku fossil.  Namun dalam kurun waktu 20 tahun belakangan, isu energi terbarukan semakin menguat sejalan dengan berbagai hasil studi panel pakar terkait kenaikan suhu global maupun hasil perundingan di COP atau konferensi tinggat tinggi perubahan iklim, bahkan kalau dibiarkan suhu bumi bisa meningkat 1,5 derajat.  Hal ini memicu banyak Negara di dunia mulai beralih ke energi terbarukan, bahkan membangun kriteria dan standart atas apa yang mereka sebut sebagai Energi Terbarukan.

Definisi Energi Terbarukan
Dalam tulisan ini, definisi energi terbarukan adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali secara alamiah.  Dengan demikian yang dimaksud dengan Energi Terbarukan dalam tulisan ini adalah juga energi berkelanjutan yang ketersediaannya di alam berjangka panjang sehingga dari generasi ke generasi tidak akan khawatir akan ketersediaannya.  Energi terbarukan disini adalah energi yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.  Sumber energi yang dimaksud adalah pembangkit energi listrik tenaga air, energi surya, energi angin, tenaga ombak, energi panas bumi, fotosintesis buatan (biomassa) dalam kondisi tertentu dan dikelola dengan kebijakan yang terkendali serta ramah lingkungan.

Di benua Eropa, perkembangan akan energi terbarukan tergolong cukup cepat walau masih di mix dengan ernergi baru (nuklir) dan energi fossil, melalui Renewable energy directive 2018/2001/EU pada Desember 2018, Komisi Eropa telah melakukan revisi pengaturan kebijakan produksi dan promosi sumber energi terbarukan di Eropa dimana pada tahun 2030 Uni Eropa menargetkan pemenuhan energi dari energi terbarukan sebesar 32% dari total energi yang ada di seluruh Eropa dengan klausul kemungkinan revisi dilakukan diatas tahun 2023 (sebelumnya melalui Renewable Energy Directive 2009/28/EC ditetapkan 20% per 2020)[2].

Secara global isu energi terbarukan bukan lagi isu pemenuhan energi semata namun juga merupakan perhatian khusus dunia atas isu lingkungan hidup dan pemanasan global.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sejak lama bangsa ini memiliki ketergantungan akut terhadap energi fossil, booming minyak bumi di awal tahun 1970an membuat Indonesia boros terhadap energi fossil, disambung dengan booming batubara di era tahun 1990an membuat abai terhadap upaya pengembangan energi terbarukan.  Padahal sebagai energi yang senantiasa tersedia di alam penggunaan energi ini tidak perlu khawatir akan ketersediaan sumbernya karena alam akan secara “bijak” akan memperbaharuinya selama proses, metode dan pengelolaannya dilakukan dengan baik dan benar.

Ketergantungan Indonesia atas energi fossil bisa dilihat dari rencana umum energi nasional  (RUEN) yang masih bertumpu pada batubara, dalam RUEN disampaikan bahwa batubara akan diberi alokasi 60% dari total produksi Nasional yang dipatok 400 juta TON per tahun 2019 bagi kebutuhan energi (baca listrik) Nasional.  Dalam RUEN juga disebutkan bahwa batubara masih menjadi sumber energi utama sampai tahun 2050. Pada tahun 2025, batubara sebagai energi primer dalam bauran energi ditargetkan mencapai 30% sedangkan pada tahun 2050, mencapai 25% dalam bauran energi nasional. Tentunya hal ini perlu untuk dipertimbangkan lagi mengingat paradigma energi yang digadang-gadangkan yaitu Energi Sebagai Modal Pembangunan, semestinya sejalan dengan Visi dan Misi Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH. Ma’aruf Amin “Meneruskan Jalan Perubahan Untuk Indonesia Maju; Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” dengan Misi ke empat “Mencapai Lingkungan Hidup Berkelanjutan”.  Merujuk pada hal tersebut, maka pembangunan yang hendak diwujudkan tentunya Pembangunan Berkelanjutan atau dengan kata lain Pembangunan yang mensinergiskan antara pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan hidup.  Untuk mencapai hal tersebut tentunya diperlukan langkah-langkah strategis.

Merujuk pada Kebijakan Energi Nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014, Sasaran KEN yang terkait dengan efisiensi energi meliputi: (1) Tercapainya proporsi energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025; (2) Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari satu pada tahun 2025 yang diselaraskan dengan target pertumbuhan ekonomi.

Sementara per Maret tahun 2019, capaian target energi terbarukan hanya mencapai 13%.  Tantangan ini walaupun telah dikeluarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik 2019 – 2028 melalui Kepmen ESDM No. 39 K/20/MEM/2019 dan sebelumnya telah ada Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) namun masih saja belum memperlihatkan transisi menuju energi terbarukan.  Independent Power Producer (IPP) yang diharapkan mampu mendongkrak pemenuhan energi nasional pun kebanyakan masih bertumpu pada energi fossil (baca : batubara).

Leap Frog Sektor Energi Nasional

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa bangsa ini haru melakukan lompatan lompatan (Leap Frog) guna mengejar ketertinggalan dan berpikir serta bertindak out of the box.  Dalam konteks pemenuhan energi nasional tentunya perlu diambil tindakan yang juga out of the box serta bukan business as usual, dimana sangat dibutuhkan satu pemikiran dan tindakan konkrit guna mengakhiri ketergantungan Bangsa ini terhadap energi fossil.  Mengacu pada hal tersebut, pembenahan mendasar yang harus dilakukan adalah mengkoreksi rencana umum energi nasional dan melakukan evaluasi terhadap keberadaan Dewan Energi Nasional (DEN).  Yang penulis maksudkan disini adalah, perlu tindakan transisi yang radikal namun terencana dengan baik, memiliki road map yang jelas serta tahapan-tahapan transisi yang cepat namun terarah guna mendorong perubahan gradual terhadap konsumsi dan produksi energi Nasional guna menunjang pembangunan berkelanjutan, memastikan pembangunan Indonesia bukan hanya berpihak pada peningkatan ekonomi semata tapi juga berpihak pada lingkungan serta penyediaan ruang hidup yang sehat dan aman bagi rakyat Indonesia.

Guna mencapai lompatan yang terarah dan perubahan yang nyata tersebut, keberadaan Dewan Energi Nasional (DEN) hendaknya memberikan kontribusi nyata terhadap transisi pemenuhan energi Nasional dengan mengutamakan energi terbarukan.  Bilamana diperlukan Dewan Energi Nasional digantikan dengan tim transisi energi yang bersifat ad hoc dengan tugas utama adalah menyusun road map energi terbarukan membuat arahan kebijakan (directive policy), merumuskan tahapan-tahapan terukur dan terencana transisi energi nasional sehingga leap frog pada sektor energi benar-benar mampu mengimbangi leap frog pada sektor lainnya.

Pada tahap awal lompatan yang bisa dilakukan adalah melakukan evaluasi dan revisi rencana umum energi listrik nasional.  Berkaca pada perkembangan pertumbuhan investasi sektor kelistrikan sejak tahun 2014, dimana sektor tersebut apabila dikorelasikan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6% – 7% pertahun membutuhkan sekitar 7.000 MW pertahun sehingga diharapkan pada tahun 2019 dapat tercapai pemenuhan energi nasional sebesar 35.000 MW, namun komposisi terbesar bagi pemenuhan energi kelistrikan berasal dari Pembangkit Tenaga Listrik berbahan baku batubara dan itupun belum mampu dicapai walaupun investasi disektor kelistrikan meningkat per semester pertama tahun 2019 mencapai Rp. 68,74 trilyun yang terbagi dalam berbagai kegiatan mulai dari pembangkit, distribusi, transmisi dan gardu listrik namun mayoritas pembangkit yang dibangun berbahan baku fossil[3].   Lompatan tahap awal adalah mengevaluasi upaya pemenuhan energi nasional berdasarkan daerah dan perencanaan pengembangan daerah dengan Indonesia Sentris sebagai acuan yang artinya kebutuhan listrik nasional mengacu pada proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi tiap daerah di Indonesia dan pesebaran penduduk di tiap-tiap daerah.

Dalam Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 – 2024, Pemerintah Indonesia berencana mengintegrasikan 169 indikator SDGs dalam rancangan RPJMN[4] tersebut hal ini juga berarti Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agenda Pembangunan Nasional.  Karenanya transisi menuju energi terbarukan merupakan satu hal yang harus menjadi target pembangunan nasiona[5]. Tahap selanjutnya adalah merubah paradigma pemenuhan energi nasional, dimana pemenuhan energi bukan hanya mengacu pada pertumbuhan pembangkit tenaga listrik semata tetapi juga harus sejalan dengan upaya perlindungan lingkungan hidup dan kontribusi Indonesia dalam mengatasi pemanasan global, untuk hal tersebut dibutuhkan perubahan kebijakan dan tentu saja perubahan harga listrik berbahan baku non fosil, ramah lingkungan dan mampu diperbaharui sebagai stimulus investasi disektor energi terbarukan. Hal-hal tersebut dibutuhkan “lompatan kodok” sebagaimana arahan Presiden Jokowi dan tentu saja lompatan tersebut harus berkontribusi padai tercapainya misi ke empat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’aruf Amin yaitu “Lingkungan Hidup Berkelanjutan”.

Rekonstruksi Ekologi Dan Pembangunan Energi Berkelanjutan

Sejak dikemukakan oleh Ernst Haeckel yang hidup antara tahun 1834 – 1919, Ekologi menjadi salah satu ilmu dengan banyak percabangan namun pada intinya Ekologi adalah suatu Ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya.  Dalam Ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai satu kesatuan atau satu sistem dengan lingkunganny[6].  Dengan demikian sebagaimana sifat alamiah lingkungan (alam) maka Ekologi memiliki sifat rekonstruktif.  Inti dari rekonstruksi ekologi dapat disimpulkan dalam kata keberagaman.  Dari sudut pandang Ekologis, keseimbangan dan hormoni di alam, di masyarakat, dan dalam inferensi dengan prilaku, dicapai bukan dengan standarisasi mekanisme namun sebaliknya diferensiasi organik[7].

Ditinjau dari sudut ini, maka Ekologi dengan sifat rekonstruksinya akan menjadikan keberagaman sebagai penopang dari keberlangsungan pembangunan yang berkeseimbangan dan harmonis.  Disini deferensiasi organik (sumberdaya alam) memiliki peran sentral dalam upaya pembangunan energi masa depan.

Mengacu pada pemikiran Murray Bookchin, dalam konteks Indonesia yang memiliki bukan hanya keragaman budaya namun juga keberagaman hayati, keberagaman kesatuan ekosistem serta ketersediaan sumber-sumber energi alamiah yang cukup maka pola energi organik dapat dikembangkan sebagai mozaik energi dengan mengacu pada ekosistem dan kondisi geografis setempat, sehingga kekayaan keberagaman tersebut dapat berfungsi optimal terdesentralisasi, efisien dan dapat memuhi kebutuhan energi Bangsa ini secara berkelanjutan.  Posisi dan wilayah Indonesia yang membentang dengan berbagai kepulauan yang tersebar memiliki kekuatan tersendiri dalam mencukupi kebutuhan energi masyarakat yang dikembangkan dari potensi yang ada di masing-masing daerah.  Didaerah yang memiliki intensitas cahaya matahari yang tinggi, kita dapat menggunakan energi surya sebagai bahan utama pemenuhan energi dikawasan tersebut, di daerah yang memiliki turbulensi atmosfer kita dapat menggunakan energi angin (bayu), di daerah pesisir yang sesuai kita dapat menggunakan tekanan gelombang dan didaerah pedalaman dengan sungai yang bagus kita dapat menggunakan energi yang berasal tenaga air.

Presiden Jokowi telah mencanangkan terobosan cara berpikir yang tidak linear, mendorong munculnya inovasi-inovasi dalam mencapai pembangunan yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dengan asas gotong royong sebagai landasan kemandirian maka bisa jadi back bone energi masa depan Indonesia mungkin bukan hanya Independent Power Producer (IPP) melainkan koperasi-koperasi energi yang melayani kebutuhan energi (listrik) masyarakat diberbagai tempat dan pelosok negeri.  Peristiwa shutdown listrik di sebagian Pulau Jawa pada tanggal 4 Agustus 2019 tidak akan terjadi apabila pembangkit listrik dibangun dalam satuan distrik atau kewilayahan yang tidak terlalu luas dimana transmisi menjadi lebih pendek serta mudah dalam pengawasan dan perawatannya.

Berpikir secara Ekologi dalam pemenuhan energi nasional akan merubah paradigma dalam pembangunan, mengubah praktek dan cara berpikir filosofis dan etis (model standarisasi) menuju praktek sosial dan visioner, menjadikan cara pikir bangsa ini sejalan dengan cita cita para pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan akan mendorong pembangunan bangsa ini menjadi lebih visioner, berdaya saing tinggi serta mandiri.

###


[1] Deddy Ratih adalah Sekretaris Nasional pada organisasi Poros Hijau Indonesia

[2] https://ec.europa.eu/energy/en/topics/renewable-energy/renewable-energy-directive/overview

[3] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190702210603-85-408462/mei-2019-investasi-sektor-listrik-baru-39-persen-dari-target

[4] https://money.kompas.com/read/2017/07/18/212201626/ri-akan-implementasikan-169-agenda-sustainable-development-goals-

[5] Perpres SDGs yang memiliki tujuan menjaga peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan inter dan antar generasi mensyaratkan perubahan paradigma dalam moda pembangunan termasuk tentunya pembangunan di sektor energi.

[6] Hutagalung RA, 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm 20-27

[7] Murray Bookchin, Ekologi dan Pemikiran Revolusioner, dalam Murray Bookchin Ekologi dan Anarkisme, Kumpulan Esai. Pustaka Catut, 2018. Hlm 18

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest