Mengapa SAFEnet dan Komnas HAM tidak bereaksi soal IDI vs JRX?

bebaskanJRX

Arimbi Heroepoetri.,S.H.,LL.M

(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Direktur PKPBerdikari dan Peneliti Senior debtWATCH Indonesia)

“Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang

Yang akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak buktinya hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stress dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab”

“BUBARKAN IDI! Saya gak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini!” *emotikon babi*

Dua  unggahan JRX di akun instagramnya di atas dan emotikon babi yang dipersoalkan  jaksa dalam sidang peradilan yang masih berlangsung ini. Atas kedua unggahan tersebut JRX dijerat pasal  28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan serta merta ditahan sejak tingkat kepolisian tanggal 13 Agustus 2020, sampai sekarang di tingkat pengadilan. Jaksa menuntut JRX tiga tahun penjara dan denda Rp. 10 juta.

Terhadap pasal yang disangkakan saya pernah menulis opini hukum dalam dua tulisan sebelumnya yang intinya terlalu lebay pihak IDI melaporkan JRX ke polisi, tanpa mau membuka dialog atau lewat proses mediasi, sama lebaynya pihak kepolisian cepat menanggapi pengaduan lisan IDI Bali dengan memakai pasal karet dalam UU ITE. Dengan kata lain, bagi mereka yang memahami hukum sebenarnya unggahan di atas bukanlah suatu perbuatan yang melanggar hukum, sehingga tidak perlu ada proses hukum terhadapnya. Polisi dan Jaksa bukanlah orang yang tidak paham hukum, tetapi mengapa kedua lembaga ini terus melakukan proses hukum terhadap JRX?

Harusnya dibedakan dan ada perlakuan yang berbeda antara kejahatan kriminal, kasus politik, kasus UU ITE.. itu harusnya yang  diperjuangkan oleh Komnas HAM… sekarang jika  semua kasus pidana diperlakukan sama, itu mengusik rasa keadilan…

… rasa keadilan terusik kenapa ada perbuatan sama tapi satu diproses yang lain adem ayem saja..

Demikian pesan masuk di gawai saya, pesan dari seorang hakim ketika saya berbagi gelisah saya. Mengapa kasus ini yang lemah dari segi hukum, namun terus melaju sampai ke tingkat pengadilan. Mengapa polisi dan jaksa begitu ngotot memakai pasal UU ITE.

Dari dulu sampai kapanpun hukum akan selalu menjadi alat politik …

… pendapat saya itu memang kasus politik para dewa

Pesan berikutnya masuk kembali di gawai saya. Ah betul, kembali saya tersadarkan hukum tidak akan pernah lepas sebagai alat politik, sebagai alat kekuasaan, karena itu peran hakim, pembela hukum, media massa, masyarakat luas, maupun Komnas HAM menjadi penting, agar terjadi pengawasan publik untuk mencegah abuse the power, penggunaan kekuasaan tanpa batas.

Dalam konteks ini saya merenung, mengapa SAFEnet sebuah organisasi yang sejak awal pendiriannya melakukan pemantauan mengenai penerapan UU ITE tidak pernah bersuara atas kasus ini. Sementara Koalisi masyarakat Sipil, seperti Elsam, ICJR, Walhi, debtWATCH Indonesia dan Amnesty Internasional telah menyatakan sikapnya melalui siaran pers mereka. Demikian juga mengapa Komnas HAM tidak bersuara? Sekedar menyatakan pandangan dan sikap dari kacamata Hak asasi Manusia mengenai perbedaan antara ujaran kebencian (hate speech) dengan kebebasan berekspresi (freedom of expression). Padahal  Pasal 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian) dan Pasal 27 ayat 3 (pencemaran nama baik) UU ITE terlalu sering dipakai untuk memenjarakan orang dengan alasan yang tidak meyakinkan. Ini saja dapat menjadi petunjuk bahwa ada potensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan menggunakan kedua pasal di atas. Kembali ke kasus JRX apakah diksi “kacung” dan emotikon babi, masuk dalam kategori ujaran kebencian ataupun perbuatan tidak menyenangkan? Di mana pelakunya dapat dihukum penjara sampai 6 tahun.

Penafsiran yang liar atas UU ITE terus memakan korban, sejak awal dengan kasus Prita Mulyasari yang meminta informasi mengenai kesehatannya dari rumah sakit dan terakhir dengan kasus Baiq Nuril yang mendapat chat mesum dari atasannya, namun malah Baiq yang disalahkan. Pasal karet ini harus dicabut karena tidak menjamin kepastian hukum dan menjadi alat opresi pemegang kekuasaan. Dan mereka yang diam atau memilih diam perlu bersuara, karena bisa jadi pasal karet ini akan menyasar ke siapa saja, termasuk mereka yang diam dan memilih diam.

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest