Menggadaikan Citarum untuk Jakarta

Citarum

Jarum jam menunjukkan angka 1.30 WIB dini hari, Kamis 5 Desember 2008. Sebagian warga RT 02 RW28, Kampung Cieunteung, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, sedang terlelap di peraduannya. Sebagian lagi berjaga-jaga dengan perasaan waswas. Hujan deras yang mengguyur kawasan cekungan Bandung sejak Rabu sore, membuat mereka harus bersiaga. 

Tiba-tiba, seseorang berteriak melalui pengeras suara sebuah masjid. “Bangun! Bangun! Citarum naik! Citarum naik!” 

Mendengar peringatan dari masjid, Ayi tersentak dari tidurnya. Betapa kagetnya dia, ketika kakinya menginjak lantai, air sudah setinggi mata kaki. Ia segera membangunkan istri dan dua anaknya. 

Dengan tergopoh-gopoh mereka mengemasi harta benda yang ada. Tak sampai sejam, air sudah mencapai lutut. Ayi dan keluarganya segera berlari menyelamatkan diri. 

Kepanikan yang sama dirasakan Dadang, tetangga Ayi. Melihat air yang naik dengan cepat, membuat ia tak mau mengambil risiko. Dadang, beserta istri dan anaknya hanya menyempatkan diri untuk mengemas beberapa pasang baju. 

Kamis pagi, Ayi, Dadang, dan Emi bergabung dengan sekitar lima ratus pengungsi lainnya di tiga tenda peleton yang didirikan di Taman Kota Baleendah, tak jauh dari Cieunteung. Mereka hanya bisa merenung, berharap harta benda mereka masih bisa digunakan jika banjir surut. 

Banjir besar yang dimulai pada 5 Desember 2008 itu merendam ribuan rumah yang dihuni oleh 6.499 kepala keluarga (34.995 jiwa) di Baleendah. Dari jumlah itu, lebih dari dua ribu orang mengungsi ke Taman Kota, Gedung DPC PDIP, Gedung Juang, dan Kantor Kelurahan Baleendah. Sisanya, bertahan di lantai dua masjid setempat, di lantai dua rumah masing-masing, atau mengungsi di rumah kerabat mereka. 

** 

DI hari yang sama: ribuan kilometer di utara Cieunteung, tepatnya di Manila, ibu kota Republik Filipina, Asian Development Bank (ADB) menyetujui pinjaman senilai 50 juta dolar AS kepada pemerintah Indonesia. Utang itu merupakan utang tahap pertama dari kerangka paket pinjaman multitahap senilai 500 juta dolar AS untuk program selama lima belas tahun. Dewan Direksi ADB menyetujui paket pinjaman itu pada 29 Oktober 2008. 

Paket pinjaman itu akan digunakan untuk mendanai Program Investasi Pengelolaan Sumber Daya Air Citarum secara Terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program; ICWRMIP) yang diusung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

Program itu bertujuan memperbaiki kualitas Citarum, menangani banjir, mengatasi persoalan lingkungan di DAS Citarum, menyediakan pasokan air baku yang berkualitas, dan sebagainya. Program itu akan meliputi seluruh jalur Citarum yang mencakup sepuluh kabupaten dan enam kota di Jawa Barat, dengan total luas area tiga belas ribu kilometer persegi. ICWRMIP digagas oleh Bappenas pada 2003, namun isunya baru ramai dibicarakan di media massa pada Juli 2008. 

Seharusnya, program itu menjanjikan harapan besar bagi warga Jawa Barat yang menjadi langganan banjir Citarum, seperti di Baleendah, Majalaya, dan Dayeuhkolot. Namun, program itu kini malah mengundang tanya. Pasalnya, alih-alih untuk perbaikan di wilayah hulu, utang tahap pertama senilai 50 juta dolar malah digunakan untuk memperbaiki Kanal Tarum Barat, sepanjang 54,2 kilometer. Mulai dari Karawang sampai Bekasi. Lalu, akan dilanjutkan untuk membangun siphon (saluran bawah tanah) di bawah sungai Bekasi untuk menjamin kualitas dan kuantitas pasokan air bersih ke Jakarta. 

Para pemangku kepentingan di Jawa Barat mempertanyakan projek tahap pertama itu. “Yang mengalami masalah itu di wilayah Jawa Barat. Dan, Citarum –mulai dari hulu sampai muara– ada di wilayah Jawa Barat. Tapi, kenapa projek awalnya malah ditujukan untuk kepentingan Jakarta?” kata Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat, Iding Srihadi Adiwinata. 

** 

ADALAH kalangan lembaga swadaya masyarakat di Bandung dan Jakarta yang getol menggugat projek tersebut. Pada Selasa, 8 Juli 2008, Bandung Institute for Governance Studies (BIGS) menggelar diskusi di Hotel Karangsetra, Bandung. Yang hadir di pertemuan itu cukup beragam. Mereka mendiskusikan rencana projek ICWRMIP yang saat itu sudah mulai diketahui oleh banyak pihak. Pada intinya, diskusi itu membahas kemungkinan untuk menolak utang dari ADB. 

Sepekan kemudian, pada 14 Juli 2008, perwakilan LSM yang berbasis di Bandung dan Jakarta mendatangi kantor Bappenas di Jakarta. Mereka bertemu dengan Direktur Pengairan dan Irigasi Bappenas M. Donny Azdan serta perwakilan ADB di Jakarta. 

Sayang, di dalam pertemuan itu Donny Azdan tidak menggambarkan secara jelas tentang apa dan bagaimana projek tersebut. Dia malah mengatakan, sudah muak dengan berbagai pertanyaan tentang ICWRMIP karena merasa sudah bergelut dengan ide itu sejak 2003. 

Dalam perkembangan selanjutnya, isu penolakan terhadap utang untuk membiayai ICWRMIP terus digulirkan oleh berbagai LSM seperti Walhi, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha), DebtWatch, dan lainnya, yang mengkristalkan diri di dalam wadah bernama Aliansi Rakyat untuk Citarum (Arum). 

Partisipan Arum, Hamong Santoso mengatakan, projek ICWRMIP itu tidak transparan dan diduga hanya akan menguntungkan dua operator air bersih swasta di Jakarta. Hamong menilai, perbaikan Kanal Tarum Barat tujuannya untuk menjaga pasokan air dari Sungai Citarum ke Jakarta. Berdasarkan data yang dimilikinya, 80 persen pasokan air bersih untuk Jakarta disuplai oleh sungai Citarum. 

“Sangat mengherankan. Kenapa yang diperbaiki malah hilirnya dulu, bukan dari hulu? Itu kenapa ada kecurigaan projek ini hanya akan menguntungkan operator air atau mendukung privatisasi air,” katanya. 

** 

Ramainya pemberitaan tentang ICWRMIP di media massa mengundang reaksi ADB. Pada 11 Desember 2008, Senior Water Resources Engineer di kantor ADB regional Asia Tenggara Christopher Morris, didampingi External Relation Officer ADB Ayun Sundari, mengundang beberapa wartawan untuk datang ke Hotel Grand Aquila Bandung. Morris dan Sundari mencoba meyakinkan wartawan bahwa projek ICWRMIP di Kanal Tarum Barat sudah sesuai dengan “peta jalan” (roadmap) yang dirumuskan oleh para pemangku kepentingan di DAS Citarum dan Jakarta. 

“Dari peta jalan itu, kemudian diterjemahkan menjadi sebuah program yang akan dilaksanakan selama lima belas tahun. Dana yang dibutuhkan untuk program itu sebesar 3,5 miliar dolar AS. ADB sendiri hanya memberi pinjaman sebesar 500 juta dolar atau hanya satu per tujuh dari total anggaran yang dibutuhkan,” kata Morris. 

Morris juga membantah jika perbaikan Kanal Tarum Barat ditujukan untuk mendukung kepentingan dua operator air di Jakarta. Dia menjelaskan, keputusan untuk mendahulukan perbaikan Kanal Tarum Barat sepanjang 54,2 km –yang mencakup daerah Kota Bekasi, Kab. Bekasi, dan Kab. Karawang– adalah untuk alasan yang praktis. Menurut Morris, perbaikan Kanal Tarum Barat adalah projek yang relatif sederhana, bisa dilaksanakan dalam waktu singkat, dan keuntungannya bisa segera dirasakan. 

Sementara itu, program perbaikan wilayah hulu, yang akan dilaksanakan pada projek tahap ke-2 sampai tahap ke-4, adalah program jangka panjang yang dampaknya pun baru akan dirasakan setelah beberapa lama. 

** 

Benarkah projek perbaikan Kanal Tarum Barat, dengan dana utang atas nama Citarum, akan memberikan keuntungan kepada warga dari Karawang sampai Jakarta? 

Di dalam penjelasan tertulis tentang ICWRMIP, ADB menjelaskan, rehabilitasi Kanal Tarum Barat adalah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas air Citarum, yang memasok delapan puluh persen kebutuhan air bersih penduduk Jakarta. Di samping itu, rehabilitasi Kanal Tarum Barat juga akan memasok kebutuhan industri dan lahan pertanian seluas 52.800 hektare di Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi. 

Peneliti dari Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Wijanto Hadipuro, mengatakan bahwa klaim ADB bahwa projek di Kanal Tarum Barat akan menguntungkan pertanian, tidak memiliki argumentasi yang kuat. 

Berdasarkan data dari Perum Jasa Tirta II, sebagai pengelola Kanal Tarum Barat, jumlah pasokan air untuk irigasi justru semakin sedikit dari tahun ke tahun. Sementara itu, target pendapatan dari penjualan jasa air justru meningkat dari tahun ke tahun. 

Selain itu, terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri yang cukup signifikan. Di Kabupaten Bekasi saja, pada tahun 2008 terjadi pengurangan lahan pertanian seluas 953 hektare. 

Dengan kondisi itu, tujuan utama yang pasti akan dicapai dalam rehabilitasi Kanal Tarum Barat, hanyalah menjamin pasokan air baku yang lebih besar untuk Jakarta. Apalagi, diperoleh informasi dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, salah satu yang akan dilakukan dalam projek rehabilitasi Kanal Tarum Barat adalah membangun siphon (saluran bawah tanah) di bawah aliran sungai Bekasi. 

“Tujuannya untuk menjaga agar air dari Kanal Tarum Barat tidak tercampur dengan air dari sungai Bekasi yang telah mengalami pencemaran berat. Dengan demikian, kualitas air untuk Jakarta menjadi lebih baik,” kata Kepala Bidang Program BBWS Citarum Kiswaya. 

Pasokan air yang lebih banyak dan lebih berkualitas itu kemudian akan masuk ke Jakarta, dan menjadi sumber utama bagi dua operator air bersih swasta di ibu kota: Pam Lyonese Jaya (Palyja) dan Aetra. 

Seperti di ketahui, sejak 1997 , untuk masalah pelayanan air bersih, Jakarta dibagi dua menjadi wilayah barat dan timur. Hak pelayanan air di wilayah barat diberikan kepada Palyja dan wilayah timur diberikankepada Aetra. Kontrak yang dimiliki masing-masing perusahaan modal asing itu berlaku selama 25 tahun. 

Jadi yang pasti diuntungkan dalam projek tahap pertama ICWRMIP, yang dibiayai oleh utang Indonesia kepada ADB, adalah dua operator air swasta di Jakarta. Warga Jawa Barat, yang telah berpuluh-puluh tahun didera banjir dan bencana alam akibat perubahan lingkungan di DAS Citarum, hanya bisa gigit jari. (Zaky Yamani/”PR”)*** 

sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=68133

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest