Hutang Luar Negeri

Jakarta – Sejak bergabung dengan ADB (Bank Pembangunan Asia) tahun 1966 Indonesia telah menerima 297 pinjaman senilai 23,5 miliar dolar AS dan 498 proyek bantuan teknis sebesar 276,6 juta dolar AS. Dengan kata lain pinjaman ini merupakan utang bagi Indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat pembukaan Sidang Tahunan ke-42 Bank Pembangunan Asia (ADB) di Nusa Dua Bali, Senin (4/5/2009), menyerukan pemulihan ekonomi dunia dengan melakukan langkah inovatif (baru) dan tegas. Mendorong lembaga keuangan Internasional menerbitkan produk pembiayaan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan di setiap negara. Timbul pertanyaan apakah langkah ini akan memberikan solusi bagi Indonesia?

Tidak ada negara yang menjadi sejahtera karena utang. Utang yang dianggap “pahala” oleh banyak pemerintah negara berkembang karena “dipercaya oleh kreditor berarti kita kredibel” sebenarnya merupakan jalan menuai bencana. Namun, inilah fakta Indonesia.

Penguasanya tidak pernah belajar dari pengalaman. Berutang sudah menjadi bagian dari budaya. Cicilan utang yang harus dibayar Indonesia tahun 2009 adalah sebesar 22 miliar dolar. Sama dengan Rp 250 triliun. Andai Indonesia mau melunasi seluruh utangnya maka penduduk negeri ini masing-masing harus membayar Rp 106 juta per kepala. Sungguh tidak adil.

Bisnis lembaga keuangan internasional pada dasarnya adalah memasarkan uang untuk mengeruk lebih banyak uang. Jika kita melihat fakta utang hanyalah akan semakin menambah kehancuran. Di Asia Selatan misalnya ADB mendanai proyek-proyek besar agroindustri dan menggunakan benih transgenik yang mengancam kedaulatan benih komunitas.

Proyek industri ekstraktif gas tangguh yang didanai ADB sekitar 350 juta dolar AS atau sekitar Rp 3,6 triliun menyebabkan 110 kepala keluarga atau 551 penduduk terusir dari tempat asalnya di Tanah Merah, Papua, dan harus menyingkir sekitar 3,5 kilometer. Di sektor kelautan dan kehutanan yang didanai ADB mulai tahun 1970-an sedikitnya 5 juta hektar laut pada 29 kawasan konservasi laut dari jangkauan nelayan tradisional. Industri tambak udang telah menyebabkan 4,2 juta hektar hutan bakau menyusut menjadi 1,9 hektar pada tahun 2008.

ADB juga membiayai proyek-proyek perkebunan sawit yang menghancurkan hutan dan keragaman hayati. Cara yang digunakan lembaga-lembaga pemberi utang sudah semakin canggih. Mereka memakai istilah sustainable development, human rights, dan lain-lain.

Pembangunan versi mereka adalah menghancurkan alam, ekosistem, dan masyarakat kita. Kepedulian mereka palsu. Utang tetap saja membuat suatu bangsa kehilangan harga diri dan posisi tawarnya terhadap negara-negara pemegang saham tertinggi dalam lembaga-lembaga
keuangan multilateral.

Utang dibuat negara berkembang untuk ‘mengatasi ketertinggalannya dari negara maju’, suatu pandangan tentang ‘pembangunan’ yang didefinisikan sepihak oleh negara maju. “Pembangunan di negara berkembang itu seperti orang naik tangga. Begitu mau naik, anak tangganya dipotong”.

Beberapa bahaya yang tampak dari kebijakan Pemerintah Indonesia dengan terus menumpuk utang luar negeri bisa dilihat dari dua aspek: ekonomi dan politik. Dari aspek ekonomi, akan menyebabkan cicilan bunga utang yang makin mencekik dan hilangnya kemandirian ekonomi.

Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi –program penyesuaian struktural, yang didasarkan pada Kapitalisme-Neoliberal. Indonesia dipaksa agar melakukan reformasi antara lain menghilangkan campur tangan Pemerintah, penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya, liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi, dan memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar.

Di bawah kontrol IMF Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan penjualan aset-aset negara dengan cara memprivatisasi badan usaha milik negara (BUMN).

Dari aspek politik bahaya besar utang luar negeri dapat membahayakan eksistensi negara karena utang adalah metode baru negara-negara Kapitalis untuk menjajah suatu negara. Sebelum utang diberikan negara-negara pemberi utang biasanya mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan atau kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi.

Misalnya, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI). Utang luar negeri pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara Kapitalis Barat terhadap negara-negara lain yang kebanyakan merupakan negeri-negeri Muslim.

Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri Amerika Serikat (AS) adalah untuk mengamankan kepentingan AS sendiri. Bank Pembangunan Asia (ADB dalam News Release yang berjudul, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, tanggal 4 Desember 2001, juga memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia.

Negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat utang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu. Banyak negara yang kondisinya terus bertambah buruk akibat bantuan AS yang mereka terima.

Di Indonesia sejak pemerintahan Soekarno hingga SBY, pengelolaan negeri ini melalui hutang luar negeri tidak pernah bisa memakmurkan rakyat. Dengan mengikuti standar Bank Dunia, yakni pendapatan per hari sekitar 2 dolar AS (Rp 20 ribu/ hari) maka ada ratusan juta penduduk miskin di Indonesia saat ini. Ironisnya, mereka juga saat ini menanggung utang Rp 106 juta per kepala.

Namun, tawaran utang tetaplah menggiurkan. Seperti permen loli, manis, tetapi membuat haus menetap yang berpotensi memunculkan berbagai penyakit berbahaya. Ketika pemerintah sadar bahwa utang menjerumuskan, kita sudah kehilangan semuanya.

Banyak cara agar negeri ini bisa makmur dan sejahtera tanpa harus terjerat utang. Cara yang bisa ditempuh.

Pertama: penguasa negeri ini harus memiliki kemauan dan keberanian untuk berhenti berutang. Utang jangan lagi dimasukkan sebagai sumber pendapatan dalam APBN. Penguasa negeri ini juga harus berani menjadwal kembali pembayaran utang. Anggaran yang ada seharusnya difokuskan pada pemenuhan berbagai kebutuhan rakyat di dalam negeri.

Kedua: penguasa negeri ini harus berani mengambil alih kembali sumber-sumber kekayaan alam yang selama ini terlanjur diserahkan kepada pihak asing atas nama program privatisasi.

Hanya dengan dua cara ini saja kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang didambakan akan terwujud. Dengan syarat penguasa dengan dukungan semua komponen umat harus berani menerapkan syariah Islam untuk mengatur semua aspek kehidupan.

14 Mei 2009

Hasanah SP
Jl Gegerkalong Girang Gang Geger Suni 1 No 49 Bandung
[email protected]
085245912261

(msh/msh)

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest
Sekali Lagi, Tentang Kapitalisme dan Pandemi Covid-19

PANDEMI Covid-19 kian mengganas. Mimpi buruk global yang kita kira akan membaik tahun ini justru tak kunjung usai. Kecuali Anda adalah seorang pemuda Ashabulkahfi yang tertidur ratusan tahun di gua ketika menghindari persekusi raja lalim versi masa kini, tentu kondisi krisis ganda kapitalisme dan pandemi Covid-19 begitu jelas terpampang setiap detik di hadapan kita semua

Gunawan Wiradi: Noktah Besar Gerakan Agraria

Proyek Survei Agro Ekonomi (SAE) yang berjalan sejak 1968 menjadi cikal baru pendekatan penelitian pertanian: riset mikro. Gunawan Wiradi yang bergabung sejak 1972 dalam proyek tersebut melakukan pekerjaan dengan paripurna. Ia langsung digembleng oleh Sajogyo dengan proses yang amat keras. Di luar dugaan, GW punya kepekaan kualitatif yang tajam. Ia catat rinci bahan-bahan penting yang tak tertampung dalam kuisioner (padahal kuisioner Sajogyo dikenal sangat detail). Catatan itu yang kemudian menjadi sebuah laporan menggetarkan yang berjudul: “Proses Panen dan Alat-alat yang Digunakan.”

Masyarakat Adat dan Kesultanan (Kerajaan)

Terdapat paling sedikit 19 (sembilan belas) istilah peraturan perundang-undangan yang menggunakan kata “Masyarakat Adat/hukum adat/masyarakat tradisional/komunitas adat Masyarakat Adat dengan definisi yang beragam antara lain UU Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, UU Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Perkebunan, UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya