19/07/2020
Bentangan kain tenun yang kerap Anda saksikan di pelbagai pameran, etalase toko, atau bahkan sedang Anda pakai, bukan sekadar produk budaya . Di balik kain dengan beragam corak dan paduan kelir itu ada buah pikir kelompok perempuan adat.
Indonesia dikenal memiliki bermacam jenis kain tenun–dari Sumatra hingga Sulawesi, dari Jawa hingga Maluku.
Misalnya di Sumatra, terdapat tenun Songket Palembang dengan ciri benang emas dengan motif pucuk rebung. Sementara di Jawa, ada Tenun Baduy yang khas dengan motif garis yang rumit atau bentukan menyerupai alam.
Lain lagi di Maluku Tenggara Barat, misalnya lewat Tenun Ikat Tanimbarnya yang punya ciri kaya warna dengan dominasi garis-garis. Keunikan corak, desain, juga paduan kelir pada kain tenun memikat banyak orang.
Tapi tahukah Anda, di balik keindahan kain tenun tersebut ada proses pemikiran kelompok perempuan adat. Sayangnya, menurut Dewan Pakar Perempuan AMAN yang juga Direktur debtWatch Indonesia, Arimbi Heroepoetri, kerja kolektif para perempuan ini belum dilindungi.
“Dalam menenun, orang hanya melihat hasil akhirnya adalah tenunan yang indah yang dilahirkan komunitas-komunitas adat dan semuanya adalah domain perempuan. Hanya itu saja. Tetapi tidak dilihat, ada kerja kolektif dari sebuah tenun, ada kerja intelektual di dalamnya,” terang Arimbi dalam diskusi daring bertajuk “Hak-Hak Kolektif Perempuan Adat”, beberapa waktu lalu.
“Ketika memintal benang, kemudian ketika membuat warna. Dalam satu warna itu bisa ada delapan atau tujuh tumbuhan. Itu ada di dalam benak perempuan adat. Pengetahuan terhadap tumbuhan tidak dianggap sebagai pengetahuan,” ia menambahkan.
Contoh lain adalah pengetahuan perempuan adat di Nusa Tenggara Timur untuk mengelola danau dan memanfaatkan lumpur sebagai bahan pewarna kain tenun. Hasil pengetahuan ini pun belum diakui sebagai hasil kerja kolektif perempuan adat.
Padahal pengetahuan tersebut masih dipraktikkan dan terus berkembang seiring waktu dan perubahan di masing-masing wilayah.
“Kerja kolektif inilah yang harusnya diberi alas hak lantas diakui dan dilindungi. … Ketika ingin menghormati dan mengakui pengetahuan sebagai kekayaan intelektual masyarakat adat, itu konteksnya bukan dagang atau merk tetapi lebih ke keberlanjutan komunitas,” kata Arimbi lagi.
Memastikan hak perempuan adat–termasuk hak kolektif yang menghasilkan pengetahuan dan budaya–penting dilakukan demi melindungi mereka. Payung hukum berupa undang-undang diperlukan agar kelak tak terjadi perampasan ataupun pelanggaran hak.
Kain tenun saat ini seolah-olah sebatas dipandang sebagai simbol budaya, produk atau bagian industri belaka. Padahal di balik itu ada kekayaan pikir perempuan adat yang harus dilindungi.
“Ketika dalam sebuah tenunan ada berbagai macam warna, maka bisa dibayangkan ada berbagai macam tumbuhan. … Itu bukan hanya ketrampilan tetapi juga pengetahuan, tapi tidak ada bukunya. Dan ini dikerjakan sampai pada produk akhir,” ungkap Arimbi.
Perlindungan Melalui RUU Masyarakat Adat
Karena itu, manakala menjumpai kain tenun, dari daerah manapun barangkali Anda bisa ingat pula bahwa di balik itu ada cerita dan proses panjang dari kelompok perempuan adat.
“Yang kita bicarakan [dari masyarakat dan perempuan adat] sebenarnya, ada ruang hidupnya, ada wilayah kelolanya, ada akses dan kontrol, ekspresi budayanya, ada agama leluhurnya, dan semua itu membutuhkan alas hak,” Arimbi menekankan.
“Itu sebabnya dibutuhkan undang-undang yang bisa memberikan alas hak. Ini harus diakui dan dihormati, kalau tidak nanti akan terjadi perampasan-perampasan,” sambung dia lagi.
Organisasi Perempuan AMAN menemukan fakta, belum ada peraturan khusus yang melindungi hak-hak kolektif perempuan adat dengan karakteristik yang khusus dan berbeda. Ketua Umum Perempuan AMAN, Devi Anggraini menuturkan, hak kolektif perempuan adat bukan saja perkara penguasaan wilayah, barang atau produk budaya melainkan juga pengelolaan, pemanfaatan, perawatan, pengembangan dan keberlanjutan antar-generasi.
Perempuan adat sebagai bagian dari masyarakat adat bersifat melekat pada identitas masyarakat adat. Namun sayangnya menurut Devi, hingga kini perempuan adat masih mengalami diskriminasi berlapis–baik terhadap hak individu sebagai perempuan adat, hak kolektif, maupun hak sebagai warga negara.
Senada diutarakan Dewan Aman Nasional Region Sulawesi, Nedine Helena Sulu.
“Masyarakat adat mendiami nusantara jauh sebelum konstituen lahir, jumlahnya hingga kini yang mencapai puluhan juta, hidup dalam ketidakpastian hak atas wilayah adatnya, penyerobotan tanah, penggusuran, kriminalisasi saat memperjuangkan haknya, hilangnya sumber kehidupan,” tutur Nedine yang juga merupakan salah satu perwakilan perempuan muda adat.
Kondisi itu bahkan ada yang sampai mengakibatkan mereka meninggalkan wilayah adat. “[ini] adalah contoh perlakuan tidak sopan negara pada masyarakat adat,” kata dia lagi.
Itu sebabnya, perwakilan perempuan adat dan organisasi masyarakat yang fokus pada isu masyarakat adat mendesak perlindungan dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Adanya instrumen hukum yang memuat perlindungan masyarakat adat–termasuk perempuan adat–diyakini bakal mengeliminasi kekerasan dan diskriminasi.
“RUU Masyarakat Adat telah dua kali menjadi Prolegnas, namun hingga saat ini pengesahan dan masa depan RUU ini masih buram. Kehadiran Undang-Undang Masyarakat Adat tentu saja akan mendorong semangat pengakuan terhadap Masyarakat Adat serta menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia dan hak asasi perempuan,” tukas Ketua Umum Perempuan AMAN, Devi Anggraini.
Sumber :