Hukum Kekuasaan dan Pasal Karet: Antara JRX, Masyarakat Adat dan Petani

WhatsApp Image 2020-09-16 at 08.49.42 (2)

Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M

(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Direktur PKPBerdikari, dan Peneliti Senior debtWATCH Indonesia)

Secara teori setidaknya ada tiga tujuan hukum dibentuk, yaitu untuk mencapai keadilan, memberikan manfaat bagi semua orang, dan memberikan perlindungan kepentingan manusia. Teori Etis, yakni teori yang mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan dan memberikannya kepada setiap orang yang menjadi haknya. Pendukungnya antara lain Apeldoorn yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia seperti: kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda dari pihak-pihak yang merugikan (Van Apeldorn: 1958). Tujuan. Teori Utilities, dari Jeremy Bentham mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk memberikan faedah atau manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang dalam sebuah lingkungan masyarakat. Teori utilites menekankan manfaat dalam menghasilkan kebahagian yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Sebagai tambahan juga ada teori yuridis atau teori kepastian hukum. Teori ini mempelajari tujuan hukum dari segi normatif, yaitu lebih kepada memberikan perlindungan kepada setiap orang supaya apa yang menjadi haknya tidak bisa diganggu oleh orang lain. Menurut Mochtar Kusumaatmadja Tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban, yang menjadi pokok dari terciptanya stuktur sosial yang teratur. Hukum juga bertujuan dalam rangka mewujudkan keadilan yang sesuai dengan masyarakat dan zamannya.

Hukum sebagai alat kekuasaan

Semua sarjana hukum yang memberi komentar tentang kasus hukum yang dihadapi JRX menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah pelanggaran hukum yang substantif yang mampu menjerat JRX, apalagi penggunaan pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dirasakan berlebihan alias lebay. Tetapi nampaknya polisi melaju terus dan telah melimpahkan perkaranya ke kejaksaan, dan ketika tulisan ini dibuat telah memasuki sidang ketiganya di pengadilan negeri Denpasar, Bali. Lantas mengapa kasus ini terus berlangsung, walau alasan hukumnya dianggap lemah? Bahkan JRX langsung ditahan sampai sekarang.

UU ITE

Korban pertama Sejak UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE diundangkan adalah Prita Mulyasari, Seorang pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, Kasus itu berawal saat Prita mengeluhkan pelayanan RS tersebut pada 2008. Respon pihak rumah sakit adalah dengan melaporkan ke aparat hukum, dan berakhir dengan menghukum Prita untuk membayar denda sebesar Rp. 204 juta ke RS Omni. Keputusan Pengadilan Negeri Tangerang ini dikukuhkan di tingkat Pengadilan Tinggi Banten. Publik yang bersimpati terhadap Prita kemudian menggalang dana “Koin untuk Prita”. Melihat hal tersebut, RS Omni pun mencabut gugatan perdatanya terhadap Prita. Meski begitu, Prita tetap dinyatakan bersalah. Akhirnya, pada 2012, Mahkamah Agung menyatakan Prita tak bersalah.

UU ITE sudah memakan korban pada tahun pertama disahkan pada 2008 dan ternyata korban-korban lain terus lahir sesudahnya. Berdasarkan catatan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), sejak UU ITE diundangkan pada 2008 hingga 31 Oktober 2018, tercatat ada sekira 381 korban yang dijerat UU tersebut. Umumnya, para pelapor menggunakan pasal 27 ayat 1 (memuat konten melanggar kesusilaan), pasal 27 ayat 3 (pencemaran nama baik), pasal 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian), dan pasal 29 (ancaman kekerasan). Lonjakan terlihat pada 2016 saat UU ITE itu direvisi oleh UU No 19 tahun 2016, tapi tak mengubah banyak pasal bermasalah itu. Pada tahun itu, ada 83 kasus ITE.

Awalnya, UU ITE dibuat demi upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik, juga untuk mengatur internet (cyberlaw). Namun, dalam penerapannya, pasal-pasal karet dalam UU ITE justru menjadi senjata untuk menjebak lawan politik.  Aparat negara disinyalir menjadi pelaku kekerasan terkait hak berekspresi warga. Tirto mencatat pelapor kasus UU ITE terbanyak, misalnya, justru dari kalangan pejabat negara: 35,92 persen. Pelaporan pejabat negara kepada terlapor awam berbasis ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat tersebut. Namun, kasus cenderung diarahkan kepada materi bermuatan ujaran kebencian. Bukannya melindungi, pasal karet kerap dipakai sebagai alat membungkam masyarakat sendiri.

Sepanjang 2019, upaya kriminalisasi lewat pasal-pasal karet UU ITE 2019 makin merajalela. Para pelapornya datang dari sesama warga negara atau pejabat ke warga negaranya. Ada sekitar 3.100 kasus ‘Panen’ UU ITE Sepanjang 2019, 22 persennya adalah kasus hoaks dan 22 persen lain adalah masalah pencemaran nama baik.  Artinya, pasal-pasal karet dalam UU ITE masih banyak digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi, menjerat hak orang untuk bicara. Safenet mencatat sepanjang 2019 ada pola lebih luas dan lebar bagi korban-korban pasal karet UU ITE. Di tahun-tahun sebelumnya lebih banyak menyasar ke jurnalis dan aktivis, tetapi tahun 2019 ini rentan menyasar ke akademisi dan dosen.

UU P3H

Kondisi yang sama juga menggejala di UU no 8 Thn. 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (P3H).  UU P3H merupakan undang-undang pidana khusus, yang awalnya dimaksudkan untuk memberantas kejahatan hutan terorganisir dan dilakukan oleh korporasi. Sayangnya, UU ini dinilai justru banyak digunakan untuk menjerat petani yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2016-2020 tak kurang dari 50 petani yang dikriminalisasi melalui penerapan UU P3H, yang setengahnya merupakan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, yang selama ini justru banyak berkontribusi menjaga hutan. UU yang secara filosofis mengandung semangat mencegah perusakan hutan dari aktivitas korporasi, malah mengkebiri hak-hak masyarakat yang secara turun temurun tinggal di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, tak terkecuali masyarakat hukum adat. Walaupun mereka telah bermukim di kawasan hutan jauh sebelum Indonesia merdeka. Di Sulawesi Selatan, LBH Makassar mencatat ada 2 kelompok masyarakat yang telah dikriminalisasi melalui UUP3H, 3 orang masyarakat di kaswasan Hutan Lindung Coppoliang Soppeng dan 6 orang Maysrakat Hukum Adat Matteko Gowa. Masyarakat Coppoliang dan Masyarakat Hukum Adat Matteko masing-masing dijerat UUP3H telah melakukan penebangan pohon menggunakan alat lazim dan “perkebunan” yang dianggap dilakukan secara terorganisir karena terdapat inisiator dalam aktivitas tersebut. Padahal aktivitas Masyarakat yang tinggal di kawasan maupun sekitar kawasan hutan dilindungi oleh UUD 1945 yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 95/PUU-XII/2014 “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”.

UU SBT

Menilik UU no. 12 Thn 1992 tentang sistem budidaya tanaman (UU SBT) ternyata juga telah menyeret sejumlah petani ke penjara. Mereka umumnya terjerat pasal 60 yang berisi larangan mencari dan mengumpulan plasma nutfah, mengedarkan hasil pemuliaan tanaman tanpa izin, atau mengedarkan benih bina yang tak sesuai label.
Materi muatan UU SBT dinilai lebih menguntungkan badan hukum atau perseorangan pemilik modal. Petani, dengan keterbatasan sumber daya, justru mengalami diskriminasi, bahkan kriminalisasi, dalam kegiatan pertanian. Misalnya, pemuliaan tanaman. Padahal penemuan varietas unggul dilakukan melalui pemuliaan tanaman, dan mempertahankan jenis unggul yang sudah ada juga termasuk kegiatan pemuliaan tanaman.

Aliansi Petani Indonesia (API) berpendapat bahwa Petani adalah aset yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Petani menyediakan pangan bagi 260 juta penduduk Indonesia, menyediakan lapangan pekerjaan bagi 40,10 juta penduduk yang tinggal di pedesaan. Petani kecil di Indonesia mengeluarkan total Rp. 485.73 triliun per tahun untuk memproduksi pangan, terutama beras. Penyediaan pangan merupakan kontribusi nyata dari petani untuk bangsa ini, meskipun ditengah-tengah risiko rugi akibat penyakit, kekeringan dan harga jual panen mereka. Akan tetapi petani tetaplah petani. Mereka tetap memproduksi untuk menyediakan pangan bagi kita semua. Berdasarkan data statistik tahun 2018, saat ini jumlah petani di Indonesia 33.49 juta di antaranya 16.26 adalah petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektare, merupakan produsen pangan pagi 260 juta penduduk Indonesia.

Namun  kriminalisasi Petani sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, ada 14 petani kecil pemulia benih di Kediri yang ditangkap, diadili dan dipenjara, hanya karena melakukan pemulian benih dan menjual kepada sesama petani. Mereka dituduh melanggar UU No. 12 Th 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, atas dakwaan melakukan pemuliaan dan menjual benih tanpa izin dan tanpa label.

Tahun 2012, API dan organisasi petani lainnya didukung dengan organisasi masyarakat sipil lainnya telah menggugat UU No. 12 Tahun 1MK). Beberapa permohonan atas gugatan terhadap UU No. 12 Thn 1992 telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya No 99/PUU-X/2012. Apakah dengan adanya putusan MK, upaya-upaya untuk mensubordinasi dan kriminalisasi petani kecil pemulia benih berhenti? Ternyata tidak!  Munirwan, seorang petani kecil sekaligus Geuchik (Kepala Desa) dan Direktur Bumdesa Nisami Indonesia dari Gampong (Desa) Meunasah Rayek, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, menjadi tersangka atas tuduhan memproduksi dan mengedarkan secara komersial benih Padi IF8 yang belum dilepas varietasnya. Juli 2019 Kepolisian Aceh mendakwa Munirwan telah melanggar  pasal 12 ayat (2) jo .Undang-Undang SBT.

Reformasi Sektor Yudikatif

Jika menilik pasal-pasal karet dalam tiga UU di atas dan penerapannya melalui proses peradilan yang  formal, terlihat bahwa hukum diterapkan berdasarkan selera pemegang kekuasaan, hukum adalah alat pemegang penguasa untuk memenuhi kepentingannya. ini jelas bertentangan dengan teori-teori tujuan hukum. Pemaksaan penerapan pasal karet tiga UU di atas mengantarkan kita kepada kondisi darurat hukum yang menyimpang jauh dari tujuan hukum semula, karena itu koreksi sistematis terhadap penyalahgunaan hukum perlu dilakukan oleh seluruh elemen bangsa secara menyeluruh. DPR agar melahirkan UU yg berkualitas, dan yang utama perlu adanya reformasi di sektor yudikatif agar menjadi benteng penegakan keadilan masyarakat, sehingga keputusan-keputusan di pengadilan benar-benar mencerminkan tujuan hukum yaitu memberikan keadilan, manfaat bagi semua orang, dan perlindungan kepentingan manusia. Sementara kita hanya bisa berharap dan berdoa agar tidak ada lagi korban-korban dengan pendekatan hukum kekuasaan. (280920).

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest