Menempatkan Perempuan Adat dalam Mosaik Negara Bangsa Indonesia

mairel-theafila-N0H3iEKQypw-unsplash

Arimbi Heroepoetri

Dewan Pakar PEREMPUAN AMAN

Peneliti Senior pada debtWATCH Indonesia

Tulisan disampaikan dalam Simposium “Menakar Jaminan Perlindungan Hak Perempuan Adat dalam Kebijakan Pembangunan” diadakan oleh PEREMPUAN AMAN, 16 Desember 2020.

PENDAHULUAN

23 tahun lalu saya menulis kondisi masyarakat adat dalam tulisan yang berjudul “Penghancuran secara sistematis sistem-sistem adat oleh kelompok dominan” Dalam tulisan itu saya menggambarkan bagaimana terjadi penolakan atas eksistensi masyarakat adat, hampir di semua lini kehidupan; di bidang pendidikan, di agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pengakuan atas masyarakat adat sekedar permukaan, kulit-kulitnya saja, seperti pengakuan dan penghormatan terhadap kearifan tradisional, tari-tariannya, karya tenunnya, ataupun budaya eksotiknya untuk kepentingan pariwisata.  Penolakannya sedemikian sistematis, sehingga masyarakat adat sendiri menjadi malu akan budayanya sendiri, seperti takut di bilang kampungan, enggan memakai bahasa sendiri, malu memakai baju adatnya dan lambat laun meninggalkan budayanya termasuk pengetahuan yang telah terbangun selama ini. Bahkan turut menstigma kerabat dan keluarganya yang masih menganut agama leluhur. Tapi jika masyarakat adat bicara mengenai akses kepemilikan lahan, tata kelola diri, pengetahuan, dan ekspresi lainnya hampir dinihilkan, digerus dianggap tidak ada. Pada masa itu berbicara mengenai hak-hak masyarakat adat secara menyeluruh akan menghadapi penolakan dari dua kekuatan besar; pertama, akan mendapat tuduhan melakukan makar, kedua, akan mendapat tuduhan pendukung kafir.

Rezim Tanah Negara, yang artinya tanah-tanah yang tidak ada alas haknya dikuasai oleh Negara, serta merta menggerus lahan-lahan yang dikuasai masyarakat adat. Pemerintah secara masif mengeluarkan ijin-ijin eksploitasi hutan dan lahan melalui konsesi kehutanan dan petambangan ataupun perubahan fungsi kawasan hutan menjadi hutan lindung. Lahan dan hutan yang merupakan wilayah kelola masyarakat adat banyak terambil untuk apa yang disebut sebagai ‘kepentingan pembangunan’ tanpa kompensasi apalagi rehabilitasi. Konflik lahan antara pemerintah dengan masyarakat adat, juga antara perusahaan besar dengan masyarakat adat kerap terjadi, kadang diwarnai dengan penangkapan, dan bahkan kekerasan, juga kematian di pihak masyarakat adat. Dalam kondisi seperti ini, lahirlah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di tahun 1999, sebuah aliansi dari berbagai komunitas adat di Indonesia yang merasa memerlukan wadah bersama untuk memperjuangkan keberlangsungan hidup masyarakat adat.

Melalui AMAN, masyarakat adat dapat menyalurkan aspirasinya sampai tingkat kebijakan, bahkan menjangkau wilayah internasional. Ini membuka mata, bahwa masalah masyarakat adat bukan hanya masalah di kampung saja, atau masalah di Negara Indonesia saja, tetapi masalah di berbagai macam belahan dunia lainnya. Di tingkat nasional berbagai upaya hukum dilakukan untuk mengkoreksi perilaku Negara terhadap masyarakat adat, salah satunya adalah dengan melakukan yudisial review atas UU Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, April 2012, yang pada intinya menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan hak yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan Negara”.

Perempuan Adat

Namun, puluhan tahun berjuang mengenai masyarakat adat, jejak keberadaan Perempuan Adat masih sayup-sayup. Bagaimana kondisi perempuan adat di Indonesia? Permasalahan khas apa yang perempuan adat hadapi sebagai perempuan adat? Dua pertanyaan ini masih belum mendapat jawaban yang pasti, karena narasi tentang perempuan adat tersapu dengan gemuruh narasi tentang masyarakat adat.

Karena itu, PEREMPUAN AMAN (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN) yang dideklarasikan di Tobelo, 12 April 2012 lahir selain sebagai wadah untuk mengkonsolidasi diri agar perempuan adat mampu menyuarakan kepentingannya, pengetahuannya dan hak-haknya. Organisasi Sayap dari AMAN ini rajin menghimpun suara dari perempuan adat. Sejak itu suara-suara perempuan adat mulai terdengar lirih, bagaimana mereka khawatir tentang bahaya narkoba yang telah sampai di kampungnya, tentang perkawinan di bawah umur, tentang musnahnya hutan durian, sehingga mereka tidak memiliki buah tangan untuk hantaran jika keluarga berkonflik, bagaimana risaunya mereka ketika tidak bisa lagi mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai berbagai macam jenis tumbuhan, ikan dan binatang lainnya karena hutan sudah semakin hilang.

Jejak kepentingan Perempuan Adat juga hilang dalam percakapan SDGs (Sustainable Development Goals).  Hasil riset PEREMPUAN AMAN tentang kondisi perempuan adat dan SDGs di tahun 2018 menemukan antara lain terjadi Peluruhan Budaya Adat.

70% masyarakat adat masih menggunakan Bahasa ibu sehari-hari. Dan 70% menyatakan bahasa ibu tidak diajarkan dalam Pendidikan formal. Kondisi ini akan mengantarkan masyarakat adat secara lambat laun kehilangan bahasa ibunya (mother language). Kehilangan bahasa Ibu adalah kehilangan salah satu identitas masyarakat adat, sekaligus menghilangkan peran penting perempuan adat. Karena Pengajaran budaya, termasuk didalamnya bahasa, adalah peran khas perempuan adat dalam komunitasnya.

Target 4.5 dalam Tujuan 4: Pendidikan Berkualitas mengindikasikan bahwa “pada tahun 2030 menghilangkan disparitas gender dalam pendidikan dan menjamin akses yang sama untuk semua tingkat pendidikan dan pelatihan kejuruan, bagi masyarakat rentan termasuk penyandang cacat, masyarakat penduduk asli, dan anak-anak dalam kondisi rentan”

Target 4.5 ini tidak akan cocok bagi kondisi menyelamatkan keberlangsungan penggunaan bahasa ibu. Karena yang diperlukan adalah affirmative action dalam dunia pendidikan, bukan akses yang sama. Affirmative action yang mendorong Bahasa-bahasa Ibu untuk diajarkan di sekolah-sekolah formal maupun informal serta pengadaan infrastruktur pendidikan yang mendukung hadirnya pengajaran sekolah ibu.

Demikian juga untuk Goal 14 dan 15 Ekosistem Lautan dan Ekosistem Daratan. Target – target dalam kedua Tujuan tersebut menekankan kepada lansekap dan perlindungan flora-fauna, tidak mengkaitkan dengan ekosistem lain, yaitu manusianya. Seharusnya ketika bicara tentang ekosistem yang utuh bukan sekedar flaura dan fauna, tetapi manusia yang hidup di ekosistem tersebut, manusia yang membangun budayanya berbasis ekosistem yang ada. Dan masyarakat adat telah terbukti hidup selaras dengan sistem lingkungannya. kerusakan akan lingkungannya juga akan membuat hidup masyarakat adat terancam, termasuk potensi kehilangan bahasa ibu dalam praktik sehari-hari.

Setidaknya ada tiga hal utama yang luput dari SDGs, yaitu pengetahuan (perempuan) adat dalam pertanian, pengobatan, bahasa, pengelolaan pangan berkelanjutan. Hak kolektif perempuan adat dalam teknologi dan inovasi, serta wilayah adat yang memandang lingkungan dalam satu kesatuan ekosisten antara flora fauna, lahan, dan air, tidak terpisahkan. Juga tata kuasa dan tata kelolanya berada di tangan masyarakat adat.

Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence) dalam pengelolaan sumber daya alam

Sejak Juni sampai September 2020, PEREMPUAN AMAN melakukan riset kekerasan berbasis gender dalam pengelolaan sumber daya alam. Riset yang dilakukan di beberapa komunitas adat dari tujuh Propinsi ini menemukenali empat bentuk kekerasan yang dialami perempuan adat:

1. Perempuan tidak terlibat dalam keputusan di tingkat adat dan rentan diskriminatif

Grafik 1 Peran Perempuan Adat di Komunitas Adat

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden (79,3%) menyatakan bahwa peran perempuan di dalam komunitas adat adalah sebagai anggota komunitas.  Sementara itu, hanya sebesar 3,4% yang menjawab peran perempuan sebagai pemimpin ritual adat dan sebesar 2% yang menjawab peran perempuan sebagai ketua komunitas adat. Hal tersebut menunjukkan di dalam komunitas adat, posisi perempuan secara umum tidak dalam tingkat pengambil keputusan dibandingkan laki-laki.

Sementara itu, presentase laki-laki menjadi ketua adat (53%) lebih besar dibanding perempuan (46%).  Perempuan, jikapun menjadi ketua perempuan adat mencapai 57.1% pada usia 51-60 tahun.  Kesempatan laki-laki menjadi ketua adat lebih besar di usia yang masih tergolong produktif, yakni 31-40 tahun, dengan proporsi 26.7%.  Situasi dan kondisi ini menunjukan bahwa posisi perempuan sebagai pemimpin masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, dan terlihat bahwa perempuan mayoritas merupakan anggota komunitas adat dibandingkan menjabat kedudukan penting dan pengambilan keputusan di komunitas adat.  Hal lainnya, perempuan dianggap memiliki kapasitas dan kedudukan sebagai pengambil keputusan ketika usianya sudah tidak lagi produktif, yakni usia 51 – 60 tahun.

Kerentanan dan Kapasitas

Grafik 2. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas

Adapun Grafik 2 menunjukkan 60,1% dari total responden memiliki tingkat kerentanan dan kapasitas yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya posisi perempuan dalam kegiatan-kegiatan adat. Posisi seperti ketua komunitas adat, misalnya, masih sangat sedikit ditempati oleh perempuan. Selain itu, dalam kondisi seperti bencana atau konflik, perempuan masih sekadar diberikan posisi sebagai pihak yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga dibandingkan dengan pihak yang mengambil keputusan. Maka dari itu, perempuan adat masih menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap sikap diskriminatif.

Grafik 3. Peran di Komunitas Adat

Peran dari responden (Grafik 3) di dalam komunitas adat mereka mencakup peran sebagai: Anggota Komunitas Adat, Anggota Pengurus Adat dan juga Ketua Komunitas Adat. Peran dari responden di dalam komunitas adatnya didominasi oleh anggota komunitas adat sebesar 78,8% atau 423 responden. Selain itu sebanyak 14,7% atau 79 responden merupakan anggota pengurus adat dan hanya 2,8% atau 15 orang responden yang memiliki peran sebagai ketua komunitas adat di dalam masyarakat adat mereka. Hanya 1,3% atau 7 responden yang memiliki peran sebagai ketua perempuan adat. Temuan ini menunjukkan bagaimana perempuan adat umumnya masih lebih banyak berperan sebagai anggota dibandingkan sebagai pemimpin atau ketua komunitas adat.

2. Pembagian kerja secara seksual

Sebagaimana yang ditengarai oleh Arif Budiman, pembagian kerja secara seksual pada prinsipnya menempatkan laki-laki dan perempuan dalam peran gendernya di masyarakat. Dalam pengerjaan ladang misalnya, perempuan dan laki-laki kerap bekerja sama, namun laki-laki akan mengambil peran bekerja yang lebih menguras tenaga seperti memotong, mengangkut, sementara perempuan bekerja dalam hal penanaman dan pemeliharaan, pekerjaan yang dianggap lebih ringan. Demikian juga dalam upacara adat, perempuan mengerjakan upacara adat yang dipandang sebagai kodratnya seperti upacara adat untuk melahirkan, dan perkawinan. Namun kebanyakan perempuan tidak dapat menjadi pemimpin adat, karena ada anggapan bahwa laki-laki adalah pemimpin.

Banyak juga perempuan-perempuan ini yang seharusnya pekerjaan itu seperti bertukang, membikin alat-alat pertanian, seharusnya itu dilakukan oleh seorang laki-laki, tapi pada faktanya yang ada ini dilakukan oleh perempuan, membikin ladang, bercocok tanam, menebang, membuka lahan yang baru, semua bisa dilakukan oleh seorang perempuan sebagai kepala rumah tangga. Peran perempuan dan peran laki-laki hampir sudah disamaratakan, hanya satu saja yang masih membedakan adalah kalau di dalam rumah tangga itu ada seorang suami, berarti perempuan  tidak boleh melangkah jabatan seorang suami ini sebagai kepala keluarga tapi kalau seorang perempuan adat menjabat sebagai kepala keluarga  maka dia secara penuh mengambil keputusan di dalam  keluarga, dengan adanya kesepakatan di dalam ruang lingkup keluarganya.

Perempuan banyak melakukan kegiatan menanam, utamanya tanaman jagung, palawija. Bahkan menanam padi perempuanlah yang menanam, ikut memelihara dan panenpun perempuan yang paling berperan, sampai menjual.Sebagai perempuan tentunya pekerjaan rumah tangga masuk sebagai tugas pokok, jadi beban kerja saya berlipat ganda. Terkait sumber daya alam perempuan sangat berperan dan punya hak atas tanah begitupun dengan pengelolaannya. tanah yang masuk kepemilikan perempuan ada itu yang merupakan tanah warisan keluarga. Yang pengelolaanya bersama dalam satu keluarga, utamanya suami. Tidak ikut mengelola tanah adat. 

3. Penghargaan yang rendah akan pengetahuan perempuan

Perempuan adat mengenali jenis-jenis tumbuhan untuk dibuat kerajinan (tikar, bakul, tas) ataupun makanan, ataupun sebagai bagian dari upacara adat.

Banyak sekali yang perlu dibuat oleh perempuan adat Uru, bisa membuat ketrampilan-ketrampilan seperti membuat bakul, tikar nase (tikar dari daun lontar), ada juga yang biasa dibuat namanya sokkotan (dipakai buat masak sokko= nasi ketan) yang sering digunakan untuk acara ritual adat.

Terkait ilmu perbintangan/ kearifan lokal, soal kapan waktunya menanam atau jenis tanaman apa yang ditanam, perempuan sangat aktif bertanya, karena ada hari-hari yang tidak cocok menanam namanya waktu simpin (tidak bagus untuk menanam). Banyak ritual yang saya ikuti. Kalau ada ritual adat, saya ikut menyediakan bahan-bahan ritual. Seperti mangmariri (untuk kelahiran) disiapkan ayam rame dan kuning, massadan (disiapkan ayam sapa sama puju). Kalau perkawinan, ada ritual mangpacci dan siapkan kue-kue manis dibuat oleh perempuan-perempuan adat. Kalau musyawarah adat terlibat memberikan usulan, tapi keputusan oleh laki-laki dan kita setujui.

4. Laki-laki sebagai kepala keluarga

Cara pandang yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga sebenarnya merugikan perempuan adat. Walaupun sama-sama bekerja mengelola rumah tangga dan lahan, namun pengambilan keputusan kebanyakan di tangan laki-laki/suami. Akibatnya kebutuhan, dan keahlian perempuan tidak dihargai secara layak.

Mama saya seorang janda, kami ada 6 bersaudara,aku adalah anak paling bungsu bapak ku meninggal saat aku masih bayi.jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mamaku bekebun dan berladang dibantu kakak-kakakku Waktu pembukaan lokasi transmigrasi di Rangan timur tahun 1982 saya baru masuk SD. Saat pendaftaran untuk menjadi anggota transmigrasi ibuku tidak bisa ikut alasannya kerena ibuku sorang janda, juga sudah tua (berumur) yang boleh masuk trans hanya kepala keluarga (laki-laki).

Dulu mama sempat bekerja sebagai buruh harian di lokasi perkebunan tranmigrasi untuk menopang ekonomi kami. Itu pilihan satu-satunya saat itu,karena setelah pembukaan trans kehidupan masyarakat sangat sulit,lahan usaha sudah tidak ada,lahan tempat berladang semakin sempit,jadi mau tidak mau masyarakat ikut menjadi buruh di perkebunan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

  • Pengelolaan sumber daya alam yang terjadi di komunitas adat, termasuk perempuan adat di 24 komunitas dan 9 Provinsi Wilayah Pengorganisasian PEREMPUAN AMAN menemukan adanya perubahan lingkungan alam, yang signifikan mengancam kepunahan lingkungan alam juga pengetahuan dari leluhur, yang terjadi di komunitas adat, termasuk perempuan adat.  Namun demikian, profil masyarakat adat saat ini mengalami pemajuan dengan meningkatnya latar belakang pendidikan komunitas adat, dengan persentase terbesar di tingkat pendidikan SMA/SMK dan sederajat, dan mengikuti program pemerintah wajib belajar 12 tahun.  Meskipun, masih ada masyarakat adat yang berpendidikan di bawah SMA/SMK dan sederajat. Masyarakat adat juga memiliki anak rata-rata 1 -2 orang anak, dan tentunya komunitas adat mengikuti program pemerintah ‘Dua Anak saja cukup’.
  • Ketiadaan free and prior informed consent (FPIC) dalam proses apa yang disebut pembangunan (seperti proyek transmigrasi, perkebunan besar kelapa sawit, pertambangan) menyebabkan penyingkiran masyarakat adat dari lahan, salah satu sumber penghidupan mereka. Meninggalkan trauma, dan mengantar masyarakat adat kepada kemiskinan. Sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembangunan itu sendiri.
  • Secara persepsi, kepemilikan tanah didominasi sebagai tanah keluarga dalam komunitas adat, dan jika pembagian berdasarkan jenis kelamin maka laki-laki memiliki hak atas tanah lebih besar dari keluarga atau leluhurnya dibandingkan perempuan.   Tingkat pendidikan juga berkorelasi positif dengan kepemilikan lahan dan peran responden di komunitas adat. Perempuan atau laki-laki yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempengaruhi perannya di komunitas adat sebagai pengambil keputusan dan memiliki kepemilikan lahan yang lebih luas. Jika dilihat kerentanan dan kapasitas, perempuan masih diposisikan lebih rendah dibandingkan laki-laki karena peran perempuan di komunitas adat masih banyak sebagai anggota komunitas dibandingkan sebagai anggota pengurus hingga sebagai ketua pengurus di komunitas.  Hal lainnya adalah perempuan juga masih berperan sebagai pekerja domestik, termasuk dalam masa bencana dan konflik sekalipun, dibandingkan sebagai pengambil keputusan dan berperan dalam kepemimpinan di komunitas adat.
  • Terjadi kekerasan berbasis gender yang dialami laki-laki adat dan perempuan adat karena peran gender yang dilekatkan kepada mereka dalam pengelolaan sumber daya alam. Tidak dilibatkannya perempuan adat dalam pengambilan keputusan baik di tingkat komunitas adatnya maupun di tingkat pemerintah, pembagian kerja secara seksual, penghargaan yang rendah akan pengetahuan perempuan, dan cara pandang laki-laki sebagai kepala keluarga adalah pola kekerasan berbasis gender yang berhasil diidentifikasi, yang membawa kondisi laki-laki adat dan perempuan adat dalam posisi yang tidak teruntungkan.

Rekomendasi

  • Perlunya dasar hukum yang kuat setingkat Undang-undang untuk mengakui dan melindungi aktivitas, dan kreasi masyarakat adat mencakup penerapan FPIC yang sesungguhnya, rehabilitasi, dan perlindungan pengetahuan leluhur. Juga menerapkan prinsip perlakuan khusus sementara (affirmative action) bagi masyarakat adat agar mereka dapat turut berperan dan teruntungkan dalam proses pembangunan. Dalam UU itu harus secara khusus mengatur mengenai hak kolektif dan otoritas perempuan adat dalam mengelola wilayahnya.
  • Perlu adanya perubahan paradigma dari kelompok utama/mainstream (pemerintah, termasuk masyarakat luas) melihat keberadaan masyarakat adat. Karena itu pendidikan secara luas untuk mengarusutamakan eksistensi, aktivitas dan kapasitas Masyarakat Adat di Indonesia menjadi penting.
  • Perlu adanya perubahan paradigma di dalam struktur sosial masyarakat adat sendiri untuk mengadopsi kesempatan yang setara antara laki-laki dan perempuan adat dalam proses pengambilan keputusan di komunitasnya. Hal yang sama juga perlu dilakukan dalam organisasi masyarakat adat.
Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest