Antara Kacung, JRX dan IDI

Arimbi-Direktur-PKPBerdikari

Oleh: Arimbi Heroepoetri.,SH.LL.M

(Pegiat Hukum, HAM, Masyarakat Adat, Lingkungan dan Perempuan, Direktur PKP\Berdikari, dan Peneliti Senior debtWATCH Indonesia)

Sejak kapan di negeri ini diksi “Kacung” menjadi sebuah “perbuatan yang tidak menyenangkan” atau malah masuk kategori “ujaran kebencian” (hate speech)? Sehingga perlu dituntut lewat proses peradilan?

Awal Agustus ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) provinsi Bali melaporkan musisi JRX  ke Polda Bali, IDI Bali menilai JRX menyebarkan ujaran kebencian terhadap IDI lewat media sosial instagram, 13 Juni lalu.

“Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur, kenapa dipaksakan? …”

Mengapa IDI terusik oleh pernyataan JRX di atas, membuat saya melakukan penelusuran tentang IDI melalui lamannya http://www.idionline.org/about/about-idi/. Saya menemukan sejarah panjang IDI yang dimulai sejak tahun 1926 dengan melakukan perubahan nama Perkumpulan Vereniging van Indische Artsen menjadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VGI). berdasarkan  timbulnya rasa nasionalisme (dimana dokter pribumi dianggap sebagai dokter kelas dua), sehingga membuat kata “indische” menjadi Indonesische” dalam VIG. Dengan demikian, profesi dokter telah menimbulkan rasa kesatuan atau paling tidak meletakkan sendi-sendi persatuan. Tujuan VIG ialah menyuarakan pendapat dokter di mana pada masa itu persoalan yang pokok ialah mensetarakan kedudukan  dokter pribumi dengan dokter Belanda dari segi kualitasnya.

IDI sendiri secara formal terbentuk di tahun 1950 melalui Muktamar pertama Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) yang digelar di Jakarta. Dihadiri 181 dokter (62 diantaranya datang dari luar Jakarta) MIDI memilih Dr. Sarwono Prawirohardjo menjadi Ketua Umum IDI pertama. Sejak itu, Muktamar IDI sudah diadakan sebanyak 28 kali, terakhir tahun 2012. Dan catatan perjalanan IDI sejak tahun 1926 yang dimuat dalam laman IDI juga berhenti di tahun 2012. Jejak kiprah IDI di tahun 2012 sampai sekarang, alias selama 8 tahun belakangan ini tidak tercantum lagi dalam Sejarah IDI.

Jelas, IDI adalah lembaga kredibel yang telah berjuang mengusung isu kesehatan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dari berbagai macam masalah kesehatan yang berkelindan di Indonesia, IDI ternyata masih memiliki energi untuk mempermasalahkan JRX. Argumen yang dibangun adalah JRX melakukan “ujaran kebencian” yang ditujukan kepada IDI. Saya tidak tahu siapa yang diuntungkan dalam situasi ini, namun menggunakan argumen ujaran kebencian untuk pernyataan “kacung WHO” sungguh berlebihan, jika tidak bisa dikatakan IDI dan atau penasehat hukumnya bertindak ngawur.

Berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) kriteria suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana ujaran kebencian merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:

  1. Penghinaan;
  2. Pencemaran nama baik;
  3. Penistaan;
  4. Perbuatan tidak menyenangkan;
  5. Memprovokasi;
  6. Menghasut;
  7. Penyebaran berita bohong.

Semua tindakan tersebut memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, penghilangan nyawa, kekerasan, dan/atau konflik sosial.

Khusus untuk huruf d) yaitu perbuatan tidak menyenangkan sudah tidak termasuk dalam ujaran kebencian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013. Perbuatan tindak menyenangkan tidak termasuk dalam hukum pidana Indonesia.

Ujaran kebencian yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas dapat dibedakan dari aspek 1. Suku; 2. Agama; 3. Aliran keagamaan;  4. Keyakinan/kepercayaan;  5. Ras; 6. Antar golongan; 7. Warna kulit; 8. Etnis; 9. Gender; 10. Kaum difabel (cacat); dan 11. Orientasi seksual.

Saya kira dengan mudah dapat dilihat apakah diksi ‘Kacung WHO” memenuhi kriteria ujaran kebencian seperti diuraikan di atas atau tidak.  Rekomendasi saya terhadap IDI, daripada menggunakan jalur hukum yang tidak berdasar, lebih baik melihat secara jernih gugatan JRX dalam sosmednya. Apakah syarat tes Covid-19 itu tepat untuk perempuan yang akan melahirkan? Apakah perempuan hamil yang terbukti secara medis terinfeksi Covid-19 tidak bisa mendapat layanan medis untuk melahirkan?

Jadikanlah IDI sebagai panutan warga untuk isu kesehatan,sebagai tempat bertanya dan sumber informasi terpercaya, niscaya nama baik IDI akan tetap terjaga sebagaimana telah ditorehkan oleh para pengurus IDI terdahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka. (8820)

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest